Nationalgeographic.co.id - Bersamaan dengan meletusnya gunung vulkanik Hunga Tonga–Hunga Haʻapai pada Jumat (14/01/2022), sebuah tim peneliti lintas negara menerbitkan temuan mereka terkait sumber meletusnya Anak Krakatau yang terjadi tahun 2018.
Makalah itu terbit di jurnal Earth and Planetary Science Letters yang mengungkap bahwa letusan saat itu tidak disebabkan oleh perubahan mencolok dalam sistem magmatik yang semestinya dapat dideteksi oleh pemantauan. Melainkan, disebabkan oleh proses destabilasasi jangka panjang, tulis para peneliti.
Temuan ini diungkap ketika mereka mengamati karakteristik fisik, kimia, dan mikrotekstur dari material hasil letusan. Disimpulkan bahwa ada ledakan besar yang berhubungan dengan keruntuhan di dalam Anak Krakatau yang disebabkan sistem magmatik dan membuatnya tidak stabil sesaat setelah longsoran terjadi.
Baca Juga: Bencana Iklim Tahun 536, Tahun Kegelapan dan Kaitannya dengan Krakatau
Jenis bahaya vulkanik ini jarang terjadi, sangat sulit diprediksi, dan seringkali menghancurkan. "Temuan kami menunjukkan bahwa meskipun ada letusan eksplosif yang dramatis pasca runtuhnya Anak Krakatau, ini dipicu oleh tanah longsor yang melepaskan tekanan pada sistem magma—seperti buih sampenye yang meluap," ujar Sebastian Watt, penulis senior makalah dari School of Geography, Earth and Environmental Sciences, University of Birmingham, Inggris di rilis Institut Teknologi Bandung.
Artinya, mereka menyimpulkan, sangat kecil kemungkinannya bila bencana itu itu disebabkan oleh magma yang naik ke permukaan dan memicu tanah longsor yang mengakibatkan tsunami.
Sayangnya, metode pemantauan gunung berapi saat ini merekam aktivitas seisimik dan sinyal lain yang disebabkan oleh magma yang naik lewat gunung vulkanik, tulis mereka dalam makalah berjudul "Downward-propagating eruption following vent unloading implies no direct magmatic trigger for the 2018 lateral collapse of Anak Krakatau".
Baca Juga: Studi Terbaru: Longsoran Anak Krakatau pada 2018 Mampu Mengubur London
Sedangkan, letusan Anak Krakatau pada tiga tahun silam itu tidak dipicu dari dalam tetapi dari luar, yaitu dengan runtuhnya bagian tubuh gunung secara tiba-tiba. Hal itu mengakibatkan kejadian ini tidak terdeteksi menggunakan teknik yang masih digunakan saat kejadian terjadi.
Mirzam Abdurrachman, salah satu anggota peneliti dan doktor di Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung, menjelaskan, jika tanah longsor berksala besar terjadi di daerah vulkanik sebagai akibat dari ketidakstabilan jangka panjang, dan dapat terjadi tanpa perubahan yang khas dalam aktivitas magmatik di gunung berapi.
Ini berarti, lanjutnya, fenomena tersebut dapat terjadi secara tiba-tiba dan tanpa peringatan yang jelas. Sehingga, hasil temuan ini jadi tantangan masa depan kawasan yang memiliki pulau-pulau gunung api untuk memprediksi bahaya.
"Apa yang Anak Krakatau 2018 coba sampaikan, mungkin bisa menjawab beberapa hal yang terjadi di Semeru pada saat ini, terjadi secara tiba-tiba dan tanpa tanda-tanda khusus," jelasnya.
"Temuan ini penting bagi orang-orang yang tinggal di daerah yang dikeliling oleh gunung berapi aktif dan pulau-pulau gunung api di tempat-tempat seperti Indonesia, Filipina, dan Jepang," Mirzam menambahkan.
Baca Juga: Misteri Letusan Gunung Berapi Tonga yang Berusaha Dipecahkan Ilmuwan
Sebelumnya, Gunung Semeru juga meletus pada 4 Desember 2021. Akan tetapi, lewat citra radar tidak ditemukan adanya perubahan pada tubuh gunung itu.
Sandy Budi Wibowo, pakar sistem informasi geografi menyimpulkan tidak adanya perubahan ini disebabkan tidak adanya suplai magma dari dalam. Artinya, erupsi Gunung Semeru tidak ada hubungannya dengan suplai magma dari bawah, melainkan faktor lain.
"Ini menguatkan statement sebelumnya tampaknya erupsinya tidak berhubungan dengan suplai magma dari dalam perut Bumi. Kalau tidak ada suplai magma, gunungnya tidak mengembang," ujar Sandi di Kompas.com.
Untuk itu, Kyra Cutler, peneliti utama dari Department of Earth Sciences, University of Oxford, menyarankan bahwa perlu adanya evalusi pertumbuhan jangka panjang dan pola deformasi, yang tentunya akan sangat membantu meberikan pemahaman yang lebih baik terkait kemungkinannya terjadi kembali bencana seperti itu.
Baca Juga: Gelagar-Gelagar Gunung Api Terdahsyat di Nusantara
Kyra Cutler, peneliti utama dari Universitas Oxford mengatakan, mengevaluasi pertumbuhan jangka panjang dan pola deformasi gunung berapi akan sangat membantu memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kemungkinan terjadinya fenomena tersebut.
“Tentu ini akan sangat relevan untuk Anak Krakatau saat ia membangun kembali tubuhnya menjadi lebih besar. Mengidentifikasi daerah yang rentan, bersama dengan upaya untuk mengembangkan deteksi tsunami nonseismik, akan meningkatkan strategi manajemen bahaya secara keseluruhan untuk masyarakat yang berisiko,” pungkasnya.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR