Walau Ghozali tidak memiliki reputasi atau sejarah sebagai seniman, seperti karyanya pernah dipamerkan dalam koleksi, ia mampu memberikan ide dan implementasi yang meyakinkan.
Mikke teringat pada seniman Rembrandt van Rijn yang melukis dirinya dari muda hingga menjelang kematian. Rembrandt menggunakan cat minyak sehingga dinilai lebih kuat secara aspek daripada Ghozali.
"Konstruksi mitos (nilai) telah membuat jaring publikasi--ini yang tidak dimiliki Rembrandt sebenarnya. Ada dua kemungkinan Ghozali bisa meneruskan cita-citanya sebagai seniman atau dia selesai setelah membayar pajak, jadi kita bisa lihat nanti di beberapa bulan kedepan apa yang terjadi," terang Mikke.
Baca Juga: Gim Ini Akan Dibuat dengan Mengkloning Dunia Nyata Sebagai Metaverse
"Terakhir, [Ghozali lewat NFT mendapatkan] respon digital yang menciptakan infrastuktur yang baru, [seperti] media digital, like and comment, kemudian marketplace semakin menguat dan seni semakin mencair—sesungguhnya seni itu seperti gas, berbau tetapi tidak terasa."
Infrastruktur seni adalah hal yang penting untuk menjadi asal muasal nilai budaya terbentuk sebagai koleksi, lanjutnya. Lewat infrastruktur seperti apresiasi lewat pementasan atau pameran, membuat masyarakat membantu menaikkan nilai seni.
"Itu juga yang menyebabkan Yogyakarta sebagai kota seni karena infrastrukturnya banyak, tidak seperti kota-kota lain misalnya Magelang, Surabaya," urai Mikke. "Infrastruktur sangat berpengaruh terhadap apresiasi warganya untuk mendalami nilai budaya. Apa jadinya jika ada karya kalau tidak ada pameran, orang-orang tidak akan memahami nilai di dalamnya."
Baca Juga: Tradisi Modifikasi Tubuh Manusia: Tato hingga Pemanjangan Tengkorak
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR