Nationalgeographic.co.id—Memiliki hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia, Indonesia juga salah satu penghasil gas rumah kaca terbesar selama 2000-2016. Sehingga, Indonesia bertanggung jawab atas sekitar seperempat emisi global dari deforestasi, degradasi hutan, dekomposisi lahan gambut, dan kebakaran.
Dengan kondisi hutan Indonesia sekarang, dampaknya masih sangat kecil untuk memenuhi target pengurangan emisi di Perjanjian Paris tahun 2016. Hal itu diungkap oleh para peneliti lewat makalah di jurnal Proceeding National Academy of Sciences (PNAS) yang akan dipublikasikan resmi 1 Februari 2022.
Studi ini dilakukan oleh kelompok penelitian yang dipimpin Ben Groom, Ketua Dragon Capital di Biodiversity Economics di University of Exeter Business School, Inggris.
Mereka menganalisis efektivitas skema emisi terkait hutan di Indonesia dengan membandingkan data satelit tahun 2004 hingga 2018 pada tutupan hutan di kawasan moratorium yang awalnya mencakup 69 juta hektar lahan hutan, dengan kawasan kontrol di luar moratorium deforestasi tahun 2010.
Pengamatan mereka berlanjut dengan membagi 400.000 petak tutupan hutan di seluruh Indonesia untuk kemudian dicocokkan pada petak-petak hutan di dalam dan di luar area moratorium. Tujuannya, peneliti dapat membandingkan area lahan dengan hutan yang serupa dan mengukur dampaknya lewat perbandingan tren sebelum dan sesudah moratorium.
Hasil penghitungan para peneliti, moratorium membuat pengurangan 67,8 hingga 86,9 juta ton pengurangan emisi karbon. Dampak pengurangan ini meliputi hutan lahan kering di dalam area moratorium yang memiliki tutupan hutan rata-rata 0,65 persen.
Baca Juga: Wahai Anak Muda, Indonesia Menanti Langkahmu untuk Netralitas Karbon
Walau demikian, lahan gambut sebagai penyimpan karbon alami yang sangat besar ternyata menandingi pengurangan itu, sehingga moratorium tidak berpengaruh, tulis para peneliti dalam makalah berjudul Carbon emissions reductions from Indonesia’s moratorium on forest concession.
Sehingga, walau skemanya cukup berhasil, dampaknya "kecil" dibandingkan dengan kontribusi pengurangan karbon yang ditentukan secara nasional (NDC) untung pengurangi karbon yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris.
"Perkiraan kami menunjukkan kontribusi tahunan sebesar tiga-empat persen untuk NDC Indonesia dari pengurangan emisi sebesar 29 persen pada tahun 2030, yang hanya merupakan kerusakan kecil dalam komitmen keseluruhan Indonesia," terang Groom di Eurekalert.
"Ini jadi masalah karena di Indonesia sekitar 65 persen emisi berasl dari kawasan hutan sehingga sektor kehutanan adalah tempat yang sangat penting untuk menghentikan laju emisi jika mereka akan memenuhi komitmen NDC mereka untuk Perjanjian Paris."
Selain menganalisis efektivitas skema, Groom dan rekan-rekan mencari tahu bagaimana investasi Norwegia terhadap pengurangan nilai karbon dari Indonesia. "Skala keuangan perlu jauh lebih besar agar implementasi menjadi efektif," tambahnya.
Indonesia sudah bermitra dengan Norwegia sejak 2011 untuk mengurangi emisi karbon dari deforestasi lewat moratorium pemberian izin baru untuk kelapa sawit, penebangan dan konsensi kayu.
Norwegia bahkan menjanjikan satu miliar dolar AS pada Indonesia untuk pembayaran berbasis kinerja untuk pengurangan emisi karbon di sektor kehutanan.
Kemitraan itu sendiri adalah bagian dari kerangka kerja interasional untuk Pengurangan Emisi dari Deofrestasi dan Degradasi Hutan (REDD+) yang didirikan pada Conference of the Parties (COP13). Lewat kerangka kerja ini, Norwegia juga berkomitmen membayar 5 dolar per ton karbon jika negara-negara tropis yang kaya hutan itu berhasil mengurangi emisinya dari deforestasi.
Tahun 2019, Norwegia sepakat untuk membayar 56,2 juta dolar AS untuk mencegah perkiraan emisi sebesar 11,23 juta ton karbon pada 2017. Tetapi, para peneliti berpendapat, perkiraan itu menggunakan rata-rata laju deforestasi Indonesia dan bukan tidak memasukkan wilayah moratorium, sehingga bukanlah ukuran akurat untuk mengetahui efektivitas program ini.
Maka metode yang dilakukan Groom dan tim adalah dampak kebijakan yang mapan untuk memperkirakan pengurangan emisi karbon. Selama 2011 sampai 2017, periode ini menandakan moratorium lebih efektit daripada yang disarankan dalam perhitungan tahun 2019. Artinya, Norwegia kurang efektif membayar uang kepada Indonesia untuk pengurangan emisi karbon.
"Kami menemukan bahwa Norwegia mungkin harus membayar lebih banyak karena dampaknya dimulai jauh lebih awal, dari tahun 2013 kami memperkirakan beberapa perubahan sederhana tetapi signifikan secara statistik," ujar Groom. "Namun, pembayarannya hanya dihitung untuk tahun 2018, tanpa kontrafaktual yang tepat."
Norwegia saat ini sedang mencari cara efektif dalam berinvestasi pada pengurangan emisi karbon. Groom berpendapat, pada akhirnya harus ada lebih banyak upaya seperti yang dilakukan Norwegia di dunia.
Baca Juga: Iklim Kian Terpuruk, Kenali Lahan Gambut untuk Mencapai Karbon Netral
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR