Toraja memiliki dua kabupaten yang terdiri dari kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara. Di mana dalam masing-masingnya memiliki cara ritual penguburan yang berbeda-beda. Ritual penguburan ini biasa disebut dengan istilah Rambu Solo’ yang mana merupakan serangkaian peristiwa upacara pemakaman dari salah satu kerabat dan dalam upacara ini keluarga yang ditinggalkan diwajibkan untuk membuat pesta sebagai tanda penghormatan terakhir mendiang.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ones Kristiani Rapa dan Yurulina Gulo Magister Sosiologi Agama, Universitas Kristen Satya Wacana pada Journal of Social and Cultural Anthropology, bahwa daerah Lembang atau Desa Gandang Batu, Kabupaten Tana Toraja memiliki upacara ritual pemakaman yang berbeda dan unik di Toraja. Gandang Batu memiliki ritual Ma’bulle Tomate, di mana keunikan dari ritual ini adalah saat masyarakat memikul jenazah dan diiringi dengan nyanyian-nyanyian rohani kristiani dalam bahasa Toraja.
Pada eksplorasi Ones dan Yurulina, ritual Ma’bulle Tomate hanya dilakukan oleh kaum laki-laki mulai dari remaja hingga dewasa. Tradisi ini telah diwariskan secara turun menurun dan biasanya orang-orang memikul jenazah diiringi dengan nyanyian-nyanyian rohani sambil melangkah maju mundur. Terkadang, orang-orang lebih sering berjalan mundur, sehingga walaupun jarak dari rumah duka ke pemakaman hanya beberapa meter saja dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk sampai ke sana.
Pada kepercayaan Aluk Todolo atau agama lokal yang ada di Toraja ini belum mengenal menyanyi lagu rohani kekristenan berbahasa Indonesia dalam ritual Ma’bulle Tomate masa kini. Sebagian besar pemeluk agama ini berdomisili di Toraja Barat atau menurut peneliti terdahulu adalah di daerah pelosok yang hampir sama sekali tidak mengenal teknologi.
“Aluk Todolo ini merupakan agama lokal yang kini hampir punah setelah masuknya kekristenan pada tahun 1913,” ungkap tokoh adat Desa Gandang Batu, Matius Limin pada wawancara sang peneliti.
Awalnya, dalam kepercayaan Aluk Todolo saat ritual Ma’bulle Tomate dilakukan, pelaksanaan ritual ini hanya diiringi dengan Badong atau tarian duka yang disertai nyanyian-nyanyian dalam bahasa suku Toraja pada malam hari ketika upacara adat berlangsung.
Menurut penelitian, Badong memiliki makna untuk menyampaikan riwayat kehidupan, mengungkapkan status sosial pada masyarakat, dan permohonan doa kepada Puang Matua atau Sang Pencipta untuk mendiang.
Kemudian nyanyian yang digunakan pada ritual Ma’bulle Tomate adalah Penanian Dolo yang berarti nyanyian dulu dimana nyanyian ini digunakan sebagai kesungguhan hati dalam pemujaan kepada Puang Matua dan memberikan kekuatan kepada keluarga yang ditinggal. Menurut peneliti terdahulu, Penanian Dolo merupakan salah satu bentuk nyanyian rohani yang dibuat dalam bahasa Toraja. Pada awalnya, nyanyian ini disusun oleh seorang Zendeling dengan beberapa orang kristiani Toraja.
Namun seiring berjalannya waktu, terjadi pergeseran pada salah satu tradisi diritual Ma’bulle Tomate ini. Awalnya ritual ini diiringi dengan Badong, kini tergeser menjadi nyanyian-nyanyian rohani masa sekarang yang menggunakan bahasa Indonesia. Menurut peneliti, terdapat perbedaan antara Badong dengan nyanyian-nyanyian rohani masa sekarang, yaitu dalam Badong memiliki tujuan memuji Puang Matua, sedangkan nyanyian-nyanyian rohani hanya sekedar pemujaan kepada Tuhan dan penghiburan kepada keluarga.
“Bukan hanya Penanian Dolo yang dipakai, melainkan beberapa nyanyian rohani kristiani seperti lagu pujian, lagu-lagu kebaktian penyegaran iman, dan lagu kidung jemaat,” tulis Ones pada jurnalnya.
Menurut Ones dan Yurulina pada penelitiannya, akibat dari pergeseran dan perubahan pada ritual Ma’bulle Tomate, menjadikan tradisi Badong dalam budaya Aluk Todolo yang dulunya ada dari salah satu ritual Ma’bulle Tomate kini hanya menjadi memori-memori atau ingatan-ingatan budaya dalam ritual yang dulu pernah berlaku dalam masyarakat dan harus tetap diingat.
Baca Juga: Mengikuti Ritual Rambu Solo di Mamasa, Apa Bedanya dengan di Toraja?
Penulis | : | Ratu Haiu Dianee |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR