Nationalgeographic.co.id—Cinta Platonik adalah salah satu konsep yang paling banyak disalahartikan dalam filsafat Plato. Cinta Platonik sejatinya telah melampaui ranah filsafat, cinta yang tulus, hubungan emosional yang tak bersyarat.
"Dalam pemikirannya, Plato percaya bahwa cinta adalah motivasi yang dapat menuntun seseorang untuk mencoba mengetahui dan merenungkan keindahan itu sendiri," tulis Ospino kepada Greek Reporter.
Luis Ospino menulis tentang filsafat cinta dari pemikiran Plato dalam artikelnya berjudul Platonic Love: The Concept of the Greek Philosopher Plato, yang dipublikasikan pada 24 November 2021.
Hal ini dapat terjadi melalui proses bertahap yang dimulai dengan apresiasi terhadap penampilan kecantikan fisik yang tampak secara indrawi, lalu berlanjut pada apresiasi keindahan spiritual.
Cinta platonik akan banyak dijumpai dalam hubungan kekeluargaan, seperti hubungan anak dengan ayah atau ibunya, cinta kepada sahabat terdekat, maupun cinta dalam persaudaraan.
"Simposium, atau perjamuan, adalah perayaan umum di mana orang Yunani berkumpul untuk minum, merayakan, dan mendiskusikan ide-ide yang mereka miliki," imbuhnya.
Selama simposium yang diadakan di rumah penyair Agathon, beberapa orang paling penting di Athena, hadir dalam simposium tersebut. Beberapa diantaranya adalah Socrates, Pausanias, Aristophanes, dan Alcibiades.
"Mereka memulai debat filosofis tentang makna sifat sejati dari cinta, dengan masing-masing filsuf memberikan argumen mereka sendiri," tambah Ospino.
Pada simposium yang terselenggara di Yunani, Plato menyampaikan filsafat cintanya yang dikemas dalam Alegori Plato. Ia menyebutnya, Cinta Platonik. Banyak yang menyatakan bahwa konsep Cinta Platonik adalah sesuatu yang tidak mungkin.
Sebelum Plato memperkenalkan lebih jauh, cinta diartikan sebagai hubungan yang timbul dari rangsangan kekaguman seseorang pada keindahan fisik, kemudian memunculkan ketertarikan yang cenderung pada nafsu atau birahi.
Setelah mendengarkan semua yang hadir, filsuf Socrates turun ke lantai dan menceritakan apa yang diungkapkan pendeta Apollo tentang arti cinta platonik. Baginya, itu adalah tangga di mana cinta menaiki serangkaian langkah untuk mencapai puncak dari "keindahan tertinggi."
Bagi Plato, cinta itu sendiri bukanlah tujuan akhir, tetapi hanya sarana untuk mencapai konsep keindahan tertinggi. Plato memandang bahwa cinta adalah kendaraan untuk dapat menggapai suatu keindahan tertinggi.
"Cinta ideal Plato terhubung dengan gagasannya tentang 'dunia ideal', dunia di mana segala sesuatunya terasa sempurna dan realitas material hanyalah salinan dari citranya," sambung Ospino.
Baca Juga: Menelisik Lesbos, Pulau Kecil Yunani Asal Mula Kata 'Lesbian'
Baca Juga: Diogenes dari Yunani Kuno: Tengil hingga Masturbasi di Ruang Publik
Baca Juga: Mitologi Yunani: Takdir 3 Perempuan Berbagi Satu Mata dan Satu Gigi
Keindahan yang hakiki tidak hanya ditangkap oleh indera manusia saja, tetapi juga yang dapat dirasakan dalam jiwa yang mengalaminya. Tujuan akhir dari cinta platonik adalah meraih keindaham dalam jiwa, cinta yang tak melulu soal nafsu dan birahi.
Adapun kriteria yang terdapat dalam filsafat cinta Plato atau Cinta Platonik: kejujuran yang menyandarkan pada kepercayaan satu sama lain, keberterimaan pada perbedaan di antara kedua belah pihak yang saling mencinta, serta tentang munculnya keindahan dalam jiwa dengan tanpa melibatkan nafsu dan hasrat seksual.
Konsep inilah yang dikenal dalam Alegori Plato sebagaimana analoginya yang menggambarkan seseorang yang terperangkap dalam gua. Orang yang mencapai pengalaman sejati tentang keindahan, setara dengan meninggalkan gua untuk keindahan dunia luar.
Source | : | Greek Reporter |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR