Nationalgeographic.co.id—Balap kereta kuda merupakan warisan dari bangsa Yunani Kuno. Orang Romawi mengikuti kebiasaan ini dan mengubahnya menjadi tontonan hiburan massal yang paling populer di Romawi kuno.
Sirkus adalah arena khusus, berbentuk seperti peluru, untuk pementasan balapan kereta. Arena yang terbesar adalah Circus Maximus di Roma. Sesuai namanya “Sirkus Terbesar”, tempat ini memiliki struktur yang sangat besar. Terdiri dari empat lantai dengan tulang punggung besar di tengah arena balap tempat kereta-kereta berlomba. Arena ini dapat menampung sekitar 200.000 orang. Maka tidak heran jika Circus Maximus menjadi arena olahraga terbesar yang pernah didirikan saat itu dalam sejarah manusia.
Catatan sejarah menuturkan bahwa ketika balap kereta sedang berlangsung, maka kota akan menjadi sangat sepi. Dalam setiap tim, terdapat 12 kereta balap. Ada 4 tim yang diidentifikasikan berdasarkan warna biru, hijau, merah, dan putih. Para penggemar lebih banyak mengikuti warna tim daripada mengikuti pembalap atau kuda, mirip dengan olahraga modern.
Normalnya, setiap kereta ditarik oleh 4 ekor kuda, meski jarang, ada juga balap kereta 2 kuda bahkan 6 kuda. Bayangkan Anda harus mengendalikan enam kuda yang berlari kencang.
Kereta akan keluar dari gerbang awal di salah satu ujungnya. Di Circus Maximus, ada 12 gerbang awal. Tujuh putaran diperlukan untuk menyelesaikan balapan.
Tempat menonton paling strategis
Kursi paling populer berada di ujung melengkung dari bentuk peluru arena karena di sanalah sebagian besar tabrakan terjadi. Penonton suka mengamati kumpulan kuda, pengemudi, dan kayu yang bertabrakan.
Tentu saja, aturannya sangat minim. Peserta dapat mencambuk lawan dan mencoba menarik mereka keluar dari kereta. Ini adalah tontonan penuh kekerasan, bukan sekedar keterampilan dan hiburan.
Seperti pertandingan di zaman modern, taruhan pun dilakukan. Taruhan jadi salah satu kesenangan utama balap kereta di Romawi Kuno.
Balap kereta juga menjadi sasaran empuk para maling. Kaisar Augustus bahkan menempatkan kelompok tentara di beberapa titik sekitar kota. Ini dilakukan untuk mencegah penjarahan dan maling yang mengambil keuntungan dari sepinya jalan saat pertandingan berlangsung.
Bintang balap kereta
Setiap kusir kereta menjadi bintang dalam pertandingan. Kusir yang paling terkenal dan sukses berlomba berasal dari pemerintahan Hadrianus dan Antoninus Pius pada abad ke-2 M. Gaius Appuleius Diocles telah berlomba selama 24 tahun, sebagian besar untuk tim merah. Ia memenangkan hampir 35% dari semua pertandingannya. Diocles menjadi orang yang sangat terkenal dan kaya pada saat kematiannya.
Kusir lain Bernama Scorpius juga memiliki karir hebat. Sayangnya, ia menabrak tiang akhir dan karirnya berakhir dengan cepat di akhir abad ke-1 M.
Baca Juga: Akibat Kegilaannya, Kaisar Romawi Caligula Mati dengan Tragis
Baca Juga: Catatan Sejarawan Kuno yang Ungkap Penghinaan Persia Pada Romawi
Baca Juga: Mengapa Masyarakat Romawi Kuno Menggemari Olahraga Berdarah?
Tingkah polah para penggemar fanatik
Setiap tim memiliki penggemar fanatiknya masing-masing. Untuk membela tim pujaannya, mereka menyebarkan berita bohong tentang kusir lawan. Misalnya, kusir dari tim merah meracuni kusir atau kuda lain agar gagal bertanding.
Pada tahun 390 M, seorang kusir dari salah satu tim di Tesalonika melakukan pelecehan seksual terhadap seorang jenderal Romawi. Ia kemudian ditangkap. Ketika kabar tersebar, para pendukung fanatiknya memberontak, menghukum mati jenderal, dan mengeluarkan kusir dari penjara. Kabarnya, mereka bahkan membakar pusat kota Tesalonika.
Pada akhirnya, kaisar harus mengirimkan pasukan, yang mengakibatkan 7.000 orang tewas dalam kekacauan yang terjadi.
Tidak jarang, para penggemar fanatik ini mengirimkan kutukan pada kuda dan kusir dari tim lain. Kutukan itu berbunyi demikian:
“Saya memanggilmu, oh Iblis, untuk memohon mulai jam ini, hari ini, saat ini, Engkau menyiksa dan membunuh kuda-kuda dari faksi hijau dan putih. Juga bunuh dan hancurkan sepenuhnya Calrice, Felix, Primulus, dan Romanus. Jangan tinggalkan napas di tubuh mereka.”
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR