Nationalgeographic.co.id—Ada beragam gas yang terdapat di lapisan atmosfer Bumi, salah satunya adalah ozon. Gas biru pucat ini mudah meledak dan beracun bahkan pada konsentrasi rendah. Ozon terbagi menjadi dua, di stratosfer dan di permukaan tanah (ground-level).
Ozon di lapisan stratosfer Bumi melindungi kita dari sinar ultraviolet yang berbahaya. Sedangkan ozon di permukaan tanah kebalikannya sebab gas ini muncul karena berbagai polutan kendaraan bermotor, pembangkit listrik dan sumber lain yang bereaksi dengan sinar matahari.
Ozon permukaan kerap dikaitkan dengan berbagai penyakit, salah satunya asma. Dilansir dari SciTechDaily, penelitian terbaru menunjukkan bahwa tingkat ozon yang tinggi berkontribusi pada peningkatan gejala depresi bagi remaja dari waktu ke waktu. Penelitian telah dipublikasikan oleh American Psychological Association dengan judul Census Tract Ambient Ozone Predicts Trajectories of Depressive Symptoms in Adolescents pada 14 Maret 2022.
Ini merupakan studi pertama yang mengkorelasikan keberadaan ozon di permukaan dengan perkembangan gejala depresi. Gejala yang ditimbulkan adalah perasaan sedih atau putus asa yang konstan, kesulitan berkonsentrasi, gangguan tidur hingga kecenderungan untuk bunuh diri.
"Saya pikir temuan kami benar-benar vokal tentang bagaimana pentingnya mempertimbangkan dampak polusi udara pada kesehatan mental selain kesehatan fisik," kata ketua penelitian tersebut Erika Manczak, PhD, pengajar psikologi di Universitas Denver, Amerika Serikat.
Studi ini menggunakan data dari penelitian sebelumnya yang melibatkan 213 remaja berusia 9 sampai 13 tahun di San Francisco, California, Amerika Serikat. Para peneliti membandingkan data mengenai kesehatan mental mereka selama empat tahun dengan data di mana mereka tinggal dan data kualitas udara di tempat mereka tinggal dari California Environmental Protection Agency.
Diketahui para remaja yang tinggal di area dengan tingkat ozon relatif lebih tinggi menunjukkan peningkatan gejala depresi yang signifikan dari waktu ke waktu. Walaupun tingkat ozon di lingkungan mereka tidak melebihi standar kualitas udara yang ditentukan. Temuan ini tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia, ras, ekonomi, pendidikan orang tua, atau karakteristik sosial ekonomi lingkungan mereka.
"Hasilnya mengejutkan, ini benar-benar menggarisbawahi fakta bahwa paparan ozon tingkat rendah pun memiliki efek yang berbahaya," tegas Manczak.
Baca Juga: Gawat! Kupu-kupu dan Lebah Kesulitan Menemukan Bunga Akibat Polusi
Baca Juga: Studi Baru, Mengurangi Polusi Udara Dapat Menurunkan Risiko Demensia
Baca Juga: Kebakaran Hutan dan Polusi Perkotaan Memproduksi Ozon Beracun
Ozon dan komponen lain dari polusi udara dapat berkontribusi pada peradangan parah dalam tubuh. Mereka telah dikaitkan dengan timbulnya dan perkembangan depresi. Remaja mungkin sangat sensitif terhadap efek ini karena mereka menghabiskan lebih banyak waktu di luar ruangan.
Penelitian kali ini hanya mencakup ukuran sampel yang relatif kecil dari satu wilayah di Amerika Serikat. Temuan bersifat korelasional sehingga tidak dapat dibuktikan bahwa kadar ozon menyebabkan peningkatan gejala depresi, hanya saja memang ada keterkaitan di antara keduanya. Mungkin juga komponen lain dari polusi udara selain ozon bisa menjadi faktor pengebab gejala depresi
Peneliti berpendapat polusi udara secara tidak proporsional mempengaruhi komunitas yang terpinggirkan, meningkatnya ozon dapat berkontribusi pada kesenjangan kesehatan. Masyarakat juga harus mempertimbangkan cara untuk mengurangi paparan ozon, seperti mengadakan kegiatan olahraga di dalam ruangan.
Bahkan bila perlu membatasi mengemudi selama kualitas udara sedang buruk. Investasi dalam sumber energi bersih dan terbarukan yang mengurangi polusi udara juga dapat membantu mengurangi efek ozon di pernukaan.
“Saya percaya standar kualitas udara yang sudah ditentukan harus lebih ketat dan kita harus memiliki peraturan yang lebih ketat tentang industri yang berkontribusi terhadap polusi. Temuan kami dan penelitian lain menunjukkan bahwa paparan ozon tingkat rendah pun dapat menimbulkan risiko serius bagi kesehatan fisik dan mental," pungkas Manczak.
Source | : | SciTechDaily |
Penulis | : | Maria Gabrielle |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR