Nationalgeographic.co.id—Greenland merupakan pulau terbesar di dunia yang beriklim dingin dan ditutupi es. Sekitar 58 juta tahun yang lalu, pulau seluas 2.166 juta kilometer persegi ini kondisinya jauh berbeda. Sesuai dengan namanya, Greenland dahulu menjadi rumah dari hutan hujan.
Dilansir dari Live Science, ternyata pada Zaman Paleosen Akhir sebuah asteroid menghantam Greenland dan meninggalkan kawah besar. Kawah yang dinamai Hiawatha keberadaannya sekarang tertutup oleh es setebal satu kilometer.
Penemuan itu telah diterbitkan pada laman jurnal Science Advances dengan judul A Late Paleocene age for Greenland’s Hiawatha impact structure pada 9 Maret 2022. Salah satu ahli yang terlibat dalam studi ini, Michael Storey, seorang peneliti di Museum Sejarah Alam Denmark mengatakan bahwa Greenland kala itu ditutupi dengan hutan hujan beriklim sedang ketika asteroid menghantam.
"Asteroid diperkirakan memiliki ukuran sekitar 1,5 kilometer ketika menghantam Greenland. Dampak dari hantaman itu kemungkinan memicu gempa bumi dan kebakaran hutan," jelas Storey kepada Live Science.
Kawah tersebut telah ditemukan pada tahun 2018 lalu. Kawah terdeteksi menggunakan radar yang dapat menembus es dan dipasang di pesawat terbang. Namun, mengingat tebalnya es yang menutupi kawah, umur kawah tidak dapat langsung diketahui.
Untungnya, kawah berada di pinggiran lapisan es. Sekitar lima kilometer dari tepi kawah, ada sungai mengalir keluar dari bawah es dan membawa sedimen yang selama ini tersembunyi. Para peneliti mengumpulkan dan meneliti butiran pasir dan kerikil dari tempat itu.
Hasilnya, mereka menemukan banyak fitur "lelehan" pada butiran dan pasir tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka telah dipanaskan secara tiba-tiba dan cepat. Storey dan rekan-rekannya menggunakan metode yang disebut penanggalan argon-argon untuk membedakan usia 50 butir pasir dari sungai.
Metode ini bergantung pada peluruhan radioaktif alami kalium 40, varian radioaktif (atau isotop) dari unsur kalium yang memiliki waktu paruh 1,251 miliar tahun. Kalium 40 meluruh menjadi argon 40, gas yang tetap terperangkap di dalam batu. Para peneliti dapat mengukur rasio antara dua isotop ini untuk menentukan berapa lama peluruhan telah berlangsung. Laju peluruhan kalium 40 menjadi argon 40 yang lambat cocok untuk untuk mengukur usia yang sangat tua.
"Panasnya hantaman asteroid menyetel ulang jam molekuler ini ke nol. Sehingga kami dapat menggunakan angka tersebut untuk menentukan kapan butiran pasir ini dihantam oleh asteroid," jelas Storey.
Sementara itu, Gavin Kenny dari Swedish Museum of Natural History yang turut terlibat dalam studi ini menggunakan metode serupa untuk mengukur peluruhan unsur radioaktif lainnya. Dia mengkur peluruhan uranium menjadi timbal dalam mineral bernama zirkon yang ditemukan di dalam kerikil.
Kedua metode tersebut terbukti menghasilkan hasil yang serupa. Butiran pasir dan kerikil diketahui mengalami "dampak besar" sekitar 58 juta tahun yang lalu, selama Paleosen Akhir.
Baca Juga: Astronom Konfirmasi Asteroid Berdiameter 1 Kilometer Dalam Orbit Bumi
Baca Juga: Alhazen, Sosok Ilmuwan yang Namanya Abadi di Bulan dan Asteroid
Baca Juga: November Ini NASA Akan Meluncurkan Misi Pertahanan Melawan Asteroid
"Inti sedimen dari laut dalam telah memberikan catatan yang sangat rinci tentang keadaan iklim pada 58 juta tahun yang lalu dan tidak ada indikasi bahwa dampak asteroid Hiawatha menyebabkan gangguan iklim global," pungkas Storey.
Adapun dampak dari hantaman asteroid itu adalah hancurnya flora dan fauna hutan hujan lokal Greenland. Ini mungkin telah menyebabkan gempa bumi berkekuatan 8 atau 9 magnitudo di dekatnya dan bisa memicu kebakaran hutan besar-besaran.
Guna mendukung teori itu, bukti deposit arang tua telah ditemukan mengalir dari bawah lapisan es. Storey juga berpendapat asteroid pembuat kawah Hiawatha adalah asteroid yang menghantam Bumi setiap satu juta hingga dua juta tahun sekali. Dengan kemungkinan 75 persen akan mendarat di lautan daripada di daratan.
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Maria Gabrielle |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR