Nationalgeographic.co.id—Kita boleh berbangga bahwa disiplin ilmu etnomusikologi lahir dari Nusantara, meski digagas oleh seorang pria Belanda. Pria itu bernama Jaap Kunst yang kini dijuluki juga sebagai Bapak Etnomusikologi.
Sebelum adanya disiplin ilmu etnomusikologi, dahulu orang-orang terbiasa menganggap remek musik-musik yang ada di Timur, termasuk di Nusantara. Dalam disiplin ilmu komparatif musikologi atau perbandingan musik, para akademisi bisa membandingkan musik-musik yang ada di Timur dengan yang ada di Barat dengan standard musik Barat sehingga musik-musik di Timur dianggap primitif, aneh, atau intinya lebih dari daripada musik Barat.
Jaap Kunst mematahkan anggapan itu semua dengan kajian-kajian mendalamnya. Kajian yang lahir dari renjana, gairah yang mengebu-gebu. Pria patah hati akibat pertunangannya yang gagal itu justru menemukan cintanya pada musik tradisi Nusantara.
Karena patah hati dalam hubungan percintaannya dan bosan dengan pekerjaannya di sebuah bank dan kantor hukum di Belanda, Kunst tersebut kemudian berpelesir ke Hindia Belanda pada 1919. Dia tak sengaja mendengar musik gamelan di Pakualaman, Yogyakarta, dan langsung jatuh cinta pada pendengaran pertamanya.
Sejak saat itulah dia menemukan cinta barunya dan mulai mencari tahu musik-musik tradisi lain di seantero Nusantara ini. Selain cinta, Jaap Kunst juga khawatir musik-musik tradisi Nusantara ini akan hilang atau berubah seiringnya waktu karena masuknya peradaban Barat di Nusantara.
"Infeksi Barat sedang mengancam hendak menghancurkan dan menghabisi musik asli pribumi," demikian surat Jaap Kunst kepada Sam Koperberg, Sekretaris di Java Instituut pada 1922.
Kunst tampak begitu geram sekaligus kecewa tentang musik-musik tradisi Nusantara yang menghilang karena masuknya peradaban baru dari Barat. Salah satu cara untuk memperoleh pengetahuan dan wawasan tentang musik Nusantara adalah dengan merekamnya untuk generasi mendatang, demikian hemat Kunst.
"Namun, dalam beberapa tahun, di banyak tempat kesempatan ini tidak akan ada lagi," tulis Jaap Kunst mewanti-wanti dalam sebuah surat kepada koleganya pada awal 1930-an. "Bahkan sekarang," sambungnya, "ada daerah di mana musik asli yang dulu berkembang dan kompleks telah sepenuhnya menghilang..."
"Dia khawatir musik-musik ini akan berubah pada waktu yang akan datang karena hadirnya misionaris-misionaris Barat di daerah-daerah tersebut yang akan mengubah cara bermusik di wilayah tersebut," tutur Citra Aryandari, etnomusikolog di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, dalam acara Bincang Redaksi-45 bertajuk Musik Tradisi Nusantara: Setelah Jaap Kunst yang diadakan National Geographic Indonesia pada Senin malam, 21 Maret 2022.
Kunst menjelajahi pelosok Hindia Belanda selama 1919-1934. Dia bekerja dengan hasrat yang menggebu-gebu. Tak sekadar mendokumentasikan, tetapi juga memahami budaya dan maknanya bagi warga pemiliknya. Penelitiannya menghasilkan fakta adanya tingkat kompleksitas dalam musik tradisional.
Temuannya menghilangkan pandangan ‘primitif’ atau ‘aneh’ dari orang-orang Eropa terhadap musik tradisi Nusantara. Pada akhirnya, Kunst menunjukkan kepada dunia bahwa musik Timur memiliki kompleksitas yang setara musik Barat.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR