"Jadi dari sejarahnya, sebelum etnomusikologi itu muncul ada yang namanya ilmu perbandingan musik," ujar Citra. "Tetapi begitu Jaap Kunst mulai merekam musik di Indonesia dan dijadikan bahan pengajaran di Universitas Amsterdam, akhirnya muncul disiplin baru, yang tidak lagi membandingkan Barat dan Timur.
Istilah etnimusikologi sendiri pertama kali dipublikasikan oleh Jaap Kunst dalam buku berjudul Musicologia: A Study of the Nature of Ethno-musicology, Its Problems, Methods, and Representative Personalities (1950). Istilah itu menggabungkan dua disiplin ilmu yang telah ada sebelumnya, yakni musikologi (1885) dan etnologi (1783).
Citra menjelaskan, secara singkat etnomusikologi adalah disiplin ilmu yang Memperlajari mengapa dan bagaimana manusia berelasi dengan musik. Para etmomusikolog menganggap musik itu penting dan diperlukan untuk proses menjadi manusia seutuhnya. "Manusia tanpa musik itu jadi tidak holistik," tegasnya.
Cara peneliti etnomusikologi ini juga cukup jauh berbeda dengan musikologi yang kebanyakan hanya meneliti dari belakang meja. Etnomusikologi lebih banyak pekerjaan lapangannya.
Bagi Jaap Kunst penelitian lapangan berarti mencari informasi secara mendalam tentang konstrukti dan aplikasi dalam bermain musik, membuat rekaman dalam bentuk suara, film, dan foto serta mengoleksi instrumen dari kelompok masyarakat yang dikunjungi. Alat-alat yang biasa Kunst bawa adalah fonograf untuk merekam suara dengan silinder lilin, rolleiflex untuk membuat foto, 16mm untuk kamera film, dan monochord yang didesain sendiri untuk mengukur nada.
Menurut Citra, berdasarkan arsip digital yang terhimpun, ada 900 hingga 1.000 rekaman suara musik tradisi Nusantara yang telah Kunst rekam selama hidupnya. Musik-musik itu berasal dari berbagai wilayah Nusantara yang rasanya cukup mewakili wilayah-wilayah Indonesia saat ini.
Dalam mendapatkan rekaman-remakan musik itu, Jaap Kunst seringkali memainkan biolanya untuk mendapatkan perhatian dari warga setempat. Setelah itu dia meminta warga setempat untuk memainkan alat-alat musik mereka sendiri dan dia kemudian merekamnya. Cara ini kemudian menadi ara khas Jaap Kunst. Namun tak jarang pula Kunst harus mengeluarkan sejumlah dana untuk memberi warga setempat uang, rokok, hingga babi agar mereka mau memainkan alat musik mereka dan direkam.
Baca Juga: Christiaan Eijkman, Peraih Nobel Kedokteran Perintis Lembaga Eijkman
Baca Juga: Jaap Kunst, Pria Belanda yang Jatuh Cinta pada Musik Tradisi Nusantara
Baca Juga: Tradisi Iria dari Nigeria: Tes Keperawanan Lewat Menari Telanjang Dada
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR