Nationalgeographic.co.id—Situs Bongal di Tapanuli Tengah, Sumatra Utara membuka mata tentang riwayat bangsa Nusantara, khususnya di tatar Melayu. Situs arkeologi ini mengisahkan hubungan mancanegara yang luas dari Tiongkok hingga Timur Tengah.
Para arkeolog dari Kantor Arkeologi Sumatra Utara bahkan menemukan manik-manik berlapis emas dan kaca dari milenium awal Masehi. Manik-manik itu berunsur kebudayaan Romawi saat menguasai Mesir, dan jenisnya diproduksi sejak abad ketiga Sebelum Masehi. Produksi itu masih berjalan di Mesir hingga perkembangan Islam dari Jazirah Arab.
"Pertanggalan yang kami temukan, itu yang paling tua abad keenam Masehi, artinya sekitar tahun 500-an, atau bisa dibilang abad pertama hijriah," jelas Ery Soedewo, salah satu peneliti di Kantor Arkeologi Sumatra Utara. "Okupasi di situs Bongal yang pasti pertanggalannya di abad keenam itu, tetapi kami masih membuka kemungkinan okupasinya bisa jadi jauh lebih tua atau lebih muda."
Hubungan yang lebih jauh masih dugaan lantaran buktinya nyaris tidak ada. Tetapi jika menelisik jauh berdasarkan temuan di Mesir, rempah yang kemungkinan kuat berasal dari Asia Tenggara telah digunakan sejak periode Firaun.
Giorgio Buccelati dan Marilyn Kelly Buccellati, arkeolog dari UCLA Coetsen Institute of Archeology, sebelumnya mengidentifikasi adanya cengkih pada mumi Firaun Ramses II. Cengkih diyakini adalah rempah-rempah asli dari bumi Nusantara. Pemanfaatan rempah-rempah juga banyak ditemukan di Timur Tengah yang berasal dari Asia Tenggara, Asia Selatan dan Asia Timur.
Arkeolog University of Haifa Ayelet Gilboa di jurnal Radiocarbon tahun 2015, rempah-rempah Asia Tenggara bisa sampai di Timur Tengah kemungkinan besar berasal dari rute perdagangan dari Asia Selatan. Perdagangan ini diperkirakan sudah ada di dataran Mesopotamia sekitar 1720 SM.
Sejarawan masa Yunani kuno Herodotus (sekitar 484 SM – sekitar 425) bahkan mencatat penggunaan rempah-rempah Asia tiba di Yunani di zaman besi. Gilboa yang mengutip catatan itu, memperkirakan pencapaian ini berkat perdagangan yang sudah ada di Levant (kini Lebanon, Suriah, Israel, dan Palestina) lewat jalur darat dan laut.
Namun, jejak interaksi itu belum terungkap berdasarkan bukti yang ada di Nusantara pada periode tersebut. Dunia luar baru menyebutkan Nusantara berdasarkan catatan Ptolemaeus yang menulis adanya bandar niaga yang bernama Barousai (Barus) di pesisr barat Pulau Sumatra. Tetapi artefak di Barus sendiri tidak menunjukkan usia yang sewaktu dengan Ptolemaeus di abad pertama Masehi.
Baca Juga: Takdir Nusantara, Dari Jelajah Rempah Sampai Jelajah Emas Hitam
Baca Juga: Rempah Terlupakan, Sains Berupaya Memuliakan Kapur Barus Kembali
Baca Juga: Situs Bongal Singkap Jejak Perdagangan Zaman Romawi di Nusantara
Baca Juga: Manusia Bermigrasi dari Sulawesi Selatan ke Flores Lewat Selayar
Pandangan lain bagaimana rempah Nusantara bisa ada di negeri antara Afrika utara dan Asia Barat itu, antropolog Inggris Roger Blench memperkirakan terjadi akibat kemampuan berlayarnya orang Nusantara itu sendiri. Dalam tulisannya di The Indian Ocean Antiquity, orang Nusantara telah berinteraksi dengan orang Afrika karena kepandaian mereka dalam mengarungi lautan.
"Hipotesis yang masih didiskusikan cenderung sederhana: bahwa ada kesamaan atau punya hubungan dekat, kelompok Austronesia yang tinggal di Madagaskar juga mencapai pesisir Afrika Timur di masa pra sejarah yang lebih tua dari 500 Masehi," tulisnya.
"Mereka tiba di pesisir dengan melintasi lautan dan langsung membentuk komunitas pesisir, berdagang dan menjadi perompak. Kebudayaan Austronesia telah nampak tersisa di Madagaskar, karena tempat itu adalah tempat yang layak jadi pemukiman dari pulau tak berpenghuni."
Di Afrika, mereka bertemu dengan masyarakat suku Bantu. Sedangkan bangsa Austronesia yang datang dari dan tinggal di Madagaskar sangat identik dengan kebudayaan di Kalimantan.
Rute melintasi Samudra Hindia inilah yang diperkirakan membantu membuat perdagangan tingkat dunia di masa berikutnya. Orang Mesir juga diyakini melakukan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan lainnya di Afrika, sehingga mendapatkan barang eksotis.
Romantisisasi kemampuan berlayar ke negeri-negeri jauh ini terekam lewat lagu anak-anak, Nenek moyangku. Romantisasi ini menceritakan bahwa leluhur orang Nusantara adalah seorang pelaut yang gemar mengarungi luas samudra.
Sampai saat ini, untuk mengetahui bagaimana perdagangan dalam milenium pertama Masehi tentang kapal masih ditelisik di situs Bongal oleh Ery dan tim. Perahu yang ditemukannya memiliki jenis kebudayaan Asia Tenggara yang masih dalam pengungkapan rinciannya.
"Pengungkapan perahu hanya sebagian kecil dari target kita di 2022 untuk mengetahui cakupan interaksi di situs Bongal. Berdasarkan identifikasi artefak, mulai dari Dinasti Tang, India, sampai Timur Tengah," jelasnya.
"Tapi bagaimana barang-barang (artefak) ini bisa sampai di situs Bongal, kan butuh moda transportasinya, kapal. Dan perahu inilah yang kita sedang cari tahu". Perahu itu terbuat dari kayu dalam keadaan terpecah-pecah dan salah satunya terdapat ukiran aksara Pallawa.
Entah bagaimana gambaran Nusantara menjelaskan hubungan mereka di tingkat mancanegara, yang jelas rute perdagangan global menjadi sarana penyebaran agama, seperti Hindu, Buddha, dan Islam.
Jejak-jejak hubungan negeri yang jauh semakin berkembang ketika kerajaan-kerajaan muncul pada negeri di bawah khatulistiwa. Beberapa penguasa pun perlahan-lahan beralih masuk agama Hindu seperti yang terjadi di Kutai, kerajaan tertua yang tercatat dalam pengetahuan sejarah kita sampai saat ini.
Kemudian diikuti oleh perpindahan masuk agama Islam di beberapa ratus tahun berikutnya ketika pedagang Gujarat dan Arab tiba.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR