Nationalgeographic.co.id – Masyarakat Dukuh Karang, Kelurahan Girikarto, Kapanewon Panggang, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta, kini bisa bernafas lega.
Pasalnya, sebuah embung telah dibangun sebagai sumber air masyarakat, yakni Embung Grigak.
Sebagai masyarakat yang menghuni kawasan karst, kehadiran embung adalah harapan untuk mengatasi krisis air yang terjadi sepanjang tahun.
Bukan hanya air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, tetapi juga untuk mengairi sawah karena mayoritas masyarakat Dukuh Karang bekerja sebagai petani.
Sebagai informasi, karst merupakan daerah yang permukaan tanahnya tersusun dari batuan kapur berpori sehingga air yang jatuh ke permukaan tanah selalu merembes ke lapisan dalam tanah. Oleh karena itu, masyarakat di kawasan ini sulit mendapat akses terhadap sumber air.
Kehadiran embung membuat petani tidak perlu lagi menampung air hujan di ember untuk mengairi lahan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebaliknya, petani dan masyarakat sekitar hanya perlu menimba air di embung sesuai kebutuhan.
Tokoh pendamping masyarakat setempat Romo Wiryono Priyotamtama SJ mengatakan, embung yang dibangun pada Maret 2020 dan diresmikan pada Mei 2021 tersebut mampu mengairi 20 hektare sawah, serta 5.000 tanaman buah-buahan yang ditanam di lahan perkebunan seluas 30 hektare milik 150 petani.
Baca Juga: Penemuan Pot-pot Ini Mengungkap Detail Baru Tentang Proses Mumifikasi
Embung yang berlokasi sekitar 30-40 meter dari bibir laut dan menghadap ke arah pantai tersebut juga bisa dimanfaatkan sebagai area budidaya ikan.
Embung tersebut tidak hanya berguna bagi masyarakat, tapi juga memberi nilai tambah berupa potensi pariwisata. Embung Grigak kini menjadi salah satu destinasi wisata di Dukuh Karang.
“Tujuan awal pengadaan Embung Grigak ini adalah untuk mengairi lahan pertanian di musim kemarau dan juga sebagai wadah budidaya ikan. Potensi lainnya dari adanya embung tadah hujan ini juga untuk menarik wisatawan,” ungkap Romo melalui pernyataan resmi, Rabu (15/9/2021).
Guna menjaga kelestarian embung seluas satu hektare tersebut, lanjut Romo Wiryono, pemeliharaan embung maupun sumber pendapatan dari pertanian, wisata, dan perikanan akan dikelola langsung oleh perkumpulan milik masyarakat. Anggota perkumpulan tersebut kebanyakan berprofesi sebagai petani.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Penulis | : | Fathia Yasmine |
Editor | : | Sheila Respati |
KOMENTAR