Nationalgeographic.co.id—Orang Kalang dianggap mempunyai adat-kebiasaan yang tidak sama dengan adatkebiasaan orang Jawa pada umumnya, khususnya di Desa Pesantren, Ulujami, Pemalang.
Wong Kalang yang merupakan komunitas masyarakat kuno di Pulau Jawa, telah berkembang dan berdiaspora di beberapa wilayah di Pulau Jawa.
"Kediaman mereka sama saja dengan rumah-rumah tetanggatetangga mereka yang mengaku sebagai orang Jawa ‘asli’," tulis Dede Mulyanto.
Ia melanjutkan, "baik dalam kehidupan sehari-hari dengan tetangga maupun di dalam keluarga, mereka juga menuturkan bahasa Jawa dialek Banyumasan."
Dede Mulyanto menulis dalam jurnal Masyarakat & Budaya dengan judul Orang Kalang, Cina, dan Budaya Pasar di Pedesaan Jawa. Jurnalnya diterbitkan pada tahun 2008.
"Orang Kalang mementingkan kawin-mawin dengan sesama orang Kalang atau dalam istilah antropologi disebut sebagai endogami kelompok," imbuhnya.
Mereka juga sering mengadakan pertemuan minimal tiga bulan sekali sesama orang Kalang dari berbagai daerah di Banyumas dan sekitarnya dan menganggap diri sebagai satu trah —organisasi kekerabatan yang berpangkal ke satu nenek-moyang bersama yang dikenali.
Aturan endogami kelompok dalam masyarakat Kalang masih cukup kuat. Anggota Kalangan —sebutan kelompok Kalang— yang kawin dengan orang di luar kelompok, konon akan dikeluarkan dari kelompok Kalangan.
"Istri dan anak-anak mereka tidak diakui sebagai orang Kalang, baik oleh orang-orang Kalangan sendiri maupun oleh tetangga orang Jawa lainnya," lanjut Dede.
Adat kebiasaan untuk menikah dengan sesama orang Kalang tampaknya merupakan ciri utama yang diketahui secara umum oleh orang Jawa lainnya di Desa Pesantren.
"Tidak semua orang Jawa di Desa Pesantren mau berterus-terang bila ditanya tentang tetangga mereka yang disebut wong Kalang. Tapi ada pula yang antusias memaparkan pengetahuannya tentang orang Kalang," ungkapnya.
Menurut mitos yang berkembang di Desa Pesantren, asal-usul orang Kalang ini dikaitkan dengan seorang laki-laki yang dilahirkan dari perkawinan seorang putri bangsawan dengan seekor anjing yang sesungguhnya ia merupakan manusia yang dikutuk menjadi anjing.
"Laki-laki ‘indo-anjing’ itulah kakek moyang orang Kalang. Karena asal-usulnya ini, pada setiap malam Jumat Kliwon keluarlah ekor (buntut) pendek di tubuh bagian belakang orang Kalang," terang Dede.
Baca Juga: Mengenal Wong Kalang, Rakyat Kuno dalam Kitab Negarakertagama
Baca Juga: Inilah Model Pendidikan yang Merdeka bagi Masyarakat Sedulur Sikep
Baca Juga: Naskah Cina-Jawa, Jejak Budaya yang Terlupakan dalam Sejarah
Dalam risetnya, Dede menanyakan pada salah seorang informan di Desa Pesantren, menegaskan bahwa keluarnya ekor hanya berlaku bagi orang Kalang ‘asli’ di zaman dahulu.
"Sekarang, zaman sudah berubah dan tidak sedikit orang Kalang yang kawin-mawin dan bergaul dengan orang Jawa sehingga ‘darah Kalang’ mereka tidak murni lagi," tegasnya.
Mitos tentang kebenaran faktual dari kemunculan ekor orang asli Kalang diperkirakan berkembang dari tradisi lisan masyarakat sekitar yang dilestarikan secara turun temurun.
Narasi yang berkembang sampai ke era modern, menyebut tentang dibentuknya mitos asal-usul Orang Kalang ini, sebagai upaya untuk menjelaskan bahwa orang Kalang dianggap mempunyai asal-usul berbeda di mata orang Jawa.
Meski secara sosial orang Kalang selalu dipandang rendah, namun secara ekonomi masyarakat Kalang telah mendominasi roda perekonomian di Pesantren, Ulujami, Pemalang.
Source | : | jurnal Masyarakat & Budaya |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR