Nationalgeographic.co.id—Ketika Aristoteles (384 SM - 322 SM) mengungsi ke Euboea dari ancaman penangkapan Athena, ia menulis dalam catatan hariannya: "Saya tidak akan mengizinkan orang Athena untuk berbuat dosa dua kali terhadap filsafat."
Saat itu, untuk kedua kalinya orang Yunani berusaha memburu filosof karena dianggap sesat. Yang pertama, orang-orang Athena mengeksekusi Socrates dengan memberinya racun, pada 399 SM. Socrates sebenarnya putra seorang pematung (atau pemotong batu) dan ibunya yang seorang bidan, yang lahir tahun 470 SM.
Socrates adalah filsuf antroposentrisme, yang memandang dunia terpusat pada manusia. Saat itu, Athena dipimpin oleh Pericles (495 – 429), jenderal perang yang membawa "Zaman Keemasan Yunani" karena kehebatannya mengalahkan Persia.
Dalam sistem pemerintahannya, Pericles menciptakan pengadilan rakyat dan menggunakan kas publik untuk mempromosikan seni. Beberapa sejarawan memandangnya sebagai politisi liberal pertama dalam sejarah, di mana keputusan ditentukan massa, dan bukan hanya bangsawan yang menjadi pemilik properti.
"Dia (Pericles) mendorong kemajuan dengan program pembangunan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang dirancang tidak hanya untuk menunjukkan kejayaan Yunani, tetapi juga untuk memastikan pekerjaan penuh dan memberikan peluang untuk menciptakan kekayaan di antara kelas non-properti," tulis sejarawan Douglas O. Linder di Famous Trial, profesor di University of Missouri-Kansas City School of Law.
Baca Juga: Hermes, Dewa Pengantar Pesan dan 'Pencuri' dari Mitologi Yunani
Baca Juga: Aristoteles di Yunani dan Nasibnya karena Kedekatan dengan Makedonia
Baca Juga: Mengapa Patung-Patung Pria Yunani Kuno Memiliki Penis yang Kecil?
Pandangan ini berbeda dengan apa yang diyakini Socrates, di mana rakyat seharusnya tidak mengatur dirinya sendiri bagai kawanan domba yang membutuhkan bimbingan gembala bijaksana. Dia menyangkal bahwa warga negara punya kebajikan dasar yang diperlukan untuk memlihara masyarakat yang baik, bahkan kerap memaki hak setiap warga yang berbicara di majelis Athena.
Sebagai guru, Socrates memiliki murid benama Alcibiades dan Critias. Kedua muridnya ini melakukan gerakan anti-demokrasi yang sempat menggulingkan pemerintahan pada 411-410 SM dan 404-403 SM. Alcibiades adalah politisi yang jadi favorit Socrates karena melakukan penggulingan pertama, sedang Critias adalah pelaku pemberontakan kedua yang berdarah untuk melawan demokrasi Athena yang menjadi pemimpin Tiga Puluh Tiran (oligarki Athena pro-Sparta).
"Satu insiden yang melibatkan Socrates dan Tiga Puluh Tiran kemudian menjadi masalah di persidangannya," lanjut O. Linder. "Meski Tiga Puluh Tiran biasanya menggunakan geng preman mereka sendiri untuk tugas (pemberontakan) itu, oligarki meminta Socrates untuk menangkap Leon of Salamis sehingga dia dapat dieksekusi dan asetnya diambil alih."
Socrates menolak melakukannya dan tidak memprotes keputusan itu. Akibatnya, Tiga Puluh Tiran memandang Socrates tidak lagi sebagai orang eksentrik kota yang bisa diajak berkawan dan berlogika dingin.
Singkat cerita, Socrates tidak dapat dituntut dalam pengadilan tahun 403 SM atas tindakannya yang berhubungan dengan Tiga Puluh Tiran. Dia dituntut empat tahun sebelum disidang 399 SM. Ia baru diproses ketika penyair Meletus menyampaikan panggilan lisan terhadapnya di hadapan para saksi dan hakim di Royal Stoa, pusat Athena.
Dalam surat dakwaan, Socrates bersalah kerena neggan mengakui dewa-dewi yang diakui negara, dan memperkenalkan dewa-dewi baru. Dia juga bersalah karena merusak kaum muda untuk radikal, sehingga ia dituntut mati. Dengan kata lain, ketidaksopanan atas kerpecayaan yang dilakukan Socrates lebih besar daripada dosa politik yang dilakukannya.
Sebenarnya ada yang lebih ringan daripada hukuman mati: denda. Plato dalam Plato's Apology sebagai murid bersama pendukung lainnya melakukan penawaran untuk bisa dipenuhi Socrates, tetapi ditolak karena terdakwa enggan bertobat.
Maka dalam pemungutan suara, mayoritas juri lebih menyukai Socrates dihukum mati. Plato mencatat ketika Socrates selesai menyelesaikan persidangan dengan berkata tentang keengganannya "berbicara kepada Anda seperti yang Anda ingin saya lakukan."
Baca Juga: Hermes, Dewa Pengantar Pesan dan 'Pencuri' dari Mitologi Yunani
Baca Juga: Apakah Tentara Terakota Tiongkok Terilhami Seniman Patung Yunani Kuno?
Baca Juga: Mengapa Patung-Patung Pria Yunani Kuno Memiliki Penis yang Kecil?
Baca Juga: Kenang Jasa Plato bagi Sejarah Pemikiran dan Ilmu Pengetahuan
Dia kemudian dibawa ke penjara sambil mengucapkan kalimat yang paling fenomenal dalam kisah peradilannya "Waktu keberangkatan telah tiba, dan kita pergi ke jalan kita--aku mati, dan kamu hidup. Yang nasibnya lebih baik hanya diketahui oleh Tuhan.". Beberapa sejarawan lebih berpendapat bahwa kata-kata itu bisa jadi dibuat oleh Plato, bukan Socrates karena sebenarnya tidak ada catatan yang menunjukkan peradilan Athena mengizinkan terdakwa boleh berbicara saat dihukum.
399 SM, masa itu tiba. Socrates telah menghabiskan waktu-waktu terakhirnya di sel penjara Athena. Beberapa sarjana yakin, bahwa eksekusi Socrates meminum racun adalah pilihan bunuh diri, sebab dilihat dari karakternya memungkinkan ia untuk membujuk dan memprovokasi mereka.
"Pengadilan Socrates dengan demikian menjadi bunuh diri paling menarik yang pernah ada di dunia. Jika dia mau, Socrates bisa memenangkan pembebasan. Kedekatan suara menunjukkan bahwa tidak ada yang tak terelakkan tentang hukumannya. Jika dia kurang rendah diri, kurang konfrontatif, kurang arogan, hak yang benar-benar dibanggakan oleh orang Athena, para juri mungkin akan lebih menerima," tulis O. Linder.
"Socrates tahu bagaimana cara mati. Cara dia memilih untuk mati meningkatkan reputasinya di antara rekan-rekannya dan menjadikannya martir besar pertama untuk kebebasan berbicara, semacam orang suci sekuler."
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR