Nationalgeographic.co.id—Iman, seni, dan sejarah melebur jadi satu di rumah-rumah peribadatan umat Muslim di Istanbul. Arsitektur dan detail desainnya mencatat sejarah kota 3000 masjid itu.
Kisah pengabdian, kebanggaan, dan seni hidup di dalam dinding masjid Istanbul. Ada lebih dari 3.000 tempat ibadah umat Muslim di kota terbesar Turki ini. Mulai dari gedung-gedung megah di lahan yang luas hingga bangunan kayu sederhana di pinggir jalan kota.
“Beberapa masjid ada yang awalnya dibangun sebagai gereja Bizantium, berasal dari abad keempat M,” ungkap Allie Yang dilansir dari laman National Geographic. Masjid baru terus didirikan secara teratur.
Baik kontemporer atau kuno, masjid-masjid Istanbul menunjukkan keragaman yang luar biasa. Ada yang memiliki kubah yang menjulang tinggi dan dipenuhi dengan ubin dan kaligrafi bermotif. Selain itu, Anda juga ada menemukan desain masjid yang sederhana, minimalis, dan modern.
Masjid-masjid kota memelihara komunitas, memamerkan seni dan keahlian. Banyak dari masjid-masjid ini menghormati tradisi lama menyambut orang luar untuk mengamati praktik umat Islam.
Masjid di kursi kerajaan
Melangkah ke masjid dapat membawa wisatawan ke masa lalu. Masjid menjadi saksi kebangkitan dan kejatuhan kekaisaran Romawi, Bizantium, dan Ottoman.
Sebelum ada listrik, banyak masjid diterangi oleh lampu gantung rendah dengan nyala api dari minyak yang berkedip-kedip. Sinarnya menyelimuti ruangan dengan cahaya keemasan.
Aula doa yang luas ditutupi dengan karpet tenunan tangan dalam berbagai warna, terutama merah. Terlepas dari ukuran ruang, jamaah akan berdoa bahu-membahu. Sebelum munculnya deodoran, bau dupa yang dibakar mempermanis udara.
Kini, masjid-masjid diterangi dengan lampu listrik, dan sering kali dilengkapi dengan karpet buatan mesin. Dupa tidak lagi dibakar. Namun doa-doa umat yang memenuhi aula mengikuti ritual tidak pernah berubah.
Muazin melakukan tradisi berabad-abad memanggil jamaah untuk berdoa. Suaranya menjadi salah satu suara kota yang paling sering didengar. “Suara muazin dapat terdengar berlapis-lapis dan terjalin satu sama lain,” ungkap Ünver Rüstem, seorang sejarawan seni dan arsitektur Islam. Ia telah banyak menulis tentang masjid-masjid Istanbul.
Saat ini, azan diperdengarkan melalui pengeras suara yang dipasang di menara yang tingginya bisa mencapai ratusan kaki.
Di masa lalu, Anda hanya akan mendengar apa yang bisa dibawa oleh suara muazin dengan perantaraan angin. Para pelantun akan naik ke balkon di atas menara dan menangkupkan mulut dengan tangan untuk menyiarkan panggilan dengan lebih baik.
Berada di antara Eropa dan Asia, Istanbul adalah tuan rumah bagi berbagai budaya dan agama yang kuat. Kaisar Romawi Konstantinus mendirikan kota ini pada tahun 330 M. Dinamai "Konstantinopel" untuk menghormatinya, nama ini digunakan hingga tahun 1930. Tahun 1930, kota ini secara resmi berganti nama menjadi Istanbul, nama kota yang bersejarah di Turki.
Ketika Kekaisaran Romawi pecah pada tahun 395, kota ini menjadi ibu kota Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) dan pusat agama Kristen. Ini berlangsung hingga Sultan Ottoman Mehmed II merebut kota tersebut pada tahun 1453.
“Masjid sering dinamai sesuai patron yang mendanainya,“ tutur Yang. Bangunan megah menjadi ekspresi fisik dari kekuatan politik atau status sosial sang pelindung.
Ada aturan tidak tertulis tentang seberapa megah sebuah masjid. “Misalnya, hanya anggota keluarga kerajaan Ottoman yang diizinkan membangun lebih dari satu Menara,” Yang menambahkan.
Pada awal tahun 1600-an, Sultan Ahmed I membuat skandal dengan melanggar aturan lain. Ia memutuskan bahwa hanya sultan yang berhasil dalam perang yang boleh membangun masjid agung.
Dia mengusulkan pembangunan masjid baru tepat di seberang masjid paling terkenal di kota itu, katedral Hagia Sophia. Penasihatnya menyarankan untuk tidak melakukannya, tetapi dia tetap membangunnya. Saat ini, Masjid Sultan Ahmed, atau “Masjid Biru,” adalah salah satu bangunan paling ikonik di dunia, dengan total enam menara yang menakjubkan.
Empat abad kemudian, itu tetap menjadi warisan Ahmed yang paling terkenal.
Menampilkan seni dan keahlian
Selain untuk mengumpulkan umat, masjid-masjid Istanbul memamerkan karya-karya keindahan dan keunggulan teknik kepada seluruh dunia.
Kubah di masjid termegah di Istanbul bisa melambangkan surga dan alam Tuhan. Sama seperti menara, ukurannya juga merupakan cara untuk menegaskan kekuasaan.
Kubah utama Masjid Süleymaniye, dibangun pada pertengahan abad ke-16 oleh Sultan Suleiman I, berdiameter 26 m dan mencapai ketinggian 53 m. Ini lebih tinggi dari Arc de Triomphe di Paris.
Arsitek di balik pembangunan Masjid Süleymaniye adalah Mimar Sinan yang terkenal. Bertanggung jawab atas puluhan masjid Istanbul dan bangunan lainnya, Sinan adalah salah satu tokoh paling terkenal dalam sejarah arsitektur kota.
Dengan aturan ketat soal kubah masjid di masa lalu, ubin menjadi cara untuk memukau jamaah. Sebuah masjid kecil dan sederhana yang tidak dapat menggunakan kubah dan menara besar dapat memukau jamaah dengan keahlian yang rumit.
Salah satu bangunan tersebut adalah masjid akhir abad ke-16 dari pembuat topi Takkeci brahim Agha. Masjidnya yang sederhana dipenuhi dengan ubin warna-warni yang megah yang dibawa dari İznik.
Kota İznik menjadi terkenal pada tahun 1500-an karena industri ubin. Ubin keramik mengkilap yang dibuat di sana menampilkan motif botani seperti tulip, anyelir, dan tanaman merambat.
Yang mengungkapkan, “Beberapa di antaranya dipengaruhi oleh porselen Cina yang berharga di sepanjang Jalur Sutra.”
Bagian-bagian dari Al-Qur'an menghiasi bangunan baik di dalam maupun di luar dalam tulisan kaligrafi yang dicat dan diukir. Ini tidak perlu dibaca untuk menjadi bermakna. Bahkan para penyembah yang tidak dapat mengartikan bahasa Arab akan mengagumi prasasti ini sebagai terjemahan yang indah dari kata suci Tuhan.
Melestarikan tradisi kuno menyambut tamu
Masjid memberikan pengunjung memori akan kebesaran pelindung, kemegahan kota Istanbul, dan kemuliaan agama Islam.
Secara historis, pengunjung non-Muslim bisa mendapatkan akses ke masjid utama kota tanpa banyak kesulitan. “Ini berlangsung hingga kini. Pengunjungi bisa mengunjungi masjid di Turki,” ungkap Rüstem.
Baca Juga: Jejak Diplomasi Politik Mataram Jawa dan Madura di Masjid Sampangan
Baca Juga: Apa Pendapat Muslim di Negara Eropa Barat Tentang Homoseksualitas?
Baca Juga: Masjid Syarif, Perdikan Keraton dalam Dakwah Kiai Syarif di Kartasura
Dulunya, masjid merupakan pusat kompleks yang berisi pemandian, sekolah, rumah sakit, perpustakaan, dan dapur untuk memberi makan orang miskin. Saat ini, pemandian dan pancuran air minum di beberapa masjid masih berfungsi. Struktur lain telah diubah untuk kebutuhan modern, termasuk kafe dan kantor.
Para pelindung yang mendanai kompleks ini kadang-kadang dimakamkan di sebuah bangunan makam terpisah di dalam kompleks. Pengunjung dapat memberikan penghormatan dan para investor mendapatkan pahala di akhirat.
Yang menambahkan, “Orang mungkin berasumsi bahwa masjid-masjid ini akan sunyi dan tertutup. Tetapi kenyataannya, masjid adalah tempat tinggal—pintunya sangat jarang tertutup. Anda mungkin terkejut mendengar jeritan anak-anak dan melihat orang-orang mengambil swafoto.”
Pada akhirnya, itulah tujuan masjid—mengumpulkan orang-orang di ruang indah yang memuliakan Tuhan.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR