Di Austronesia, korban kurban manusia seringkali berstatus lebih rendah, seperti budak. Sedangkan pelakunya berstatus tinggi, seperti kepala suku atau pendeta. Ada banyak tumpang tindih antara sistem agama dan politik. “Dalam banyak kasus para kepala suku dan raja sendiri diyakini sebagai keturunan para dewa,” Watts menuturkan.
Dengan demikian, sistem agama menyukai elit sosial, dan mereka yang menyinggung mereka memiliki kebiasaan menjadi korban manusia. Bahkan ketika tabu yang dilanggar secara ketat membutuhkan pengurbanan manusia, ada fleksibilitas dalam sistem dan hukuman tidak seimbang.
Misalnya, di Hawaii, seseorang yang melanggar tabu utama dapat menggantikan kehidupan seorang budak dengan kehidupan mereka sendiri. Ini dapat dilakukan asalkan mereka mampu membeli seorang budak.
Pengurbanan manusia bisa menjadi sarana kontrol sosial yang sangat efektif karena memberikan pembenaran supernatural untuk hukuman. Ini juga berfungsi ‘pengingat’ bagi orang lain agar tidak melakukan hal yang sama. Oleh karena itu, pengurbanan manusia menunjukkan kekuatan tertinggi para elit.
Tumpang tindih antara sistem agama dan sekuler dalam kebudayaan kuno berarti bahwa agama rentan untuk dieksploitasi oleh penguasa. “Penggunaan pengurbanan manusia sebagai alat kontrol sosial memberikan gambaran mengerikan tentang seberapa jauh hal ini bisa terjadi,” Watts menambahkan.
Source | : | The Conversation |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR