Nationalgeographic.co.id—Kanibalisme adalah salah satu tabu manusia yang paling dalam dan paling kuno. Sebagian besar orang meyakini bahwa memakan daging manusia adalah pengkhianatan terakhir terhadap kemanusiaan kita.
Namun seperti yang ditunjukkan oleh ahli zoologi dan penulis Bill Schutt dalam buku barunya, Cannibalism: A Perfectly Natural History, tidak semua budaya menganut tabu ini. Di Tiongkok kuno, misalnya, bagian tubuh manusia akan muncul di menu kekaisaran.
Ketika National Geographic menghubungi Schutt melalui telepon di rumahnya di Long Island, dia menjelaskan bagaimana di dunia hewan kanibalisme sangat umum terjadi, bagaimana kanibalisme dijadikan alasan untuk penjajahan kaum Barat, hingga bagaimana perubahan iklim dapat memicu kanibalisme massal.
Schutt menulis, "Kanibalisme masuk akal secara evolusioner yang sempurna." Dia menjelaskan bahwa sangat mengejutkan baginya saat mengetahui bahwa kanibalisme begitu tersebar luas di seluruh alam. "Mulai tahun 1970-an dan 1980-an, para peneliti mulai mengungkap banyak contoh di seluruh kerajaan hewan di mana itu adalah perilaku yang benar-benar alami," katanya.
Sebagai contoh, katak spadefoot bertelur di kolam-kolam sementara yang ukurannya tidak lebih besar dari genangan air. Karena iklim, kolam-kolam ini dalam bahaya mengering setiap saat.
"Jadi, jika Anda seekor kecebong, dari sudut pandang evolusioner, ia berlomba untuk keluar dari kolam secepat mungkin. Jika kolam mengering, Anda mati. Hasilnya, mereka telah mengembangkan mekanisme di mana persentase tertentu dari kecebong menjadi besar, dalam semalam, dengan otot rahang yang besar, gigi yang tampak liar, dan saluran pencernaan yang memendek. Apa yang mereka lakukan adalah memakan saudara-saudara mereka di kolam. Dengan demikian, mereka dewasa lebih cepat dan bisa keluar lebih cepat daripada saudara dan saudari herbivora mereka."
Kanibalisme menjadi suatu yang tabu oleh banyak manusia karena dikesankan demikian dalam karya-karya tulis. "Sejak Homer dan orang-orang Yunani, kita telah diajari bahwa kanibalisme adalah tabu utama. Itu berlanjut dari Homer melalui orang-orang Romawi ke Shakespeare, Grimm bersaudara, Daniel Defoe, dan Freud. Anda memiliki efek bola salju di mana kita diajari bahwa kanibalisme adalah kengerian."
Baca Juga: Mulai dari Mengiris Organ hingga Kanibalisme, Ritus Ngeri Aztec
Baca Juga: Misteri Evolusi dan Kanibalisme Dalam Kepunahan Massal Neandertal
Tak hanya menjadikannya tabu, orang-orang Barat juga kerap menggunakan tuduhan dan stigma kanibalisme pada orang lain untuk membenarkan penaklukan, khususnya di Dunia Baru. "Ketika Columbus pertama kali tiba di Dunia Baru, dia menggambarkan penduduk asli sebagai orang-orang yang ramah dan tidak menimbulkan masalah. Dia telah diberitahu oleh Ratu Isabella untuk memperlakukan orang-orang ini dengan hormat dan kebaikan, kecuali jika menjadi jelas bahwa mereka adalah kanibal, dalam hal ini, semua taruhan dibatalkan. Awalnya, orang-orang Spanyol mencari emas dan, ketika mereka tidak menemukannya, mereka mengira bahwa hal terbaik berikutnya adalah budak," beber Schutt.
"Lihatlah, ketika Columbus kembali, penduduk asli yang sebelumnya tergolong ramah tiba-tiba digambarkan sebagai kanibal, jadi Anda bisa melakukan apa saja terhadap mereka. Anda bisa memperbudak mereka, mengambil tanah mereka, membunuh mereka, dan memperlakukan mereka seperti penyakit sampar. Dan itulah yang terjadi, akibatnya banyak pulau yang tidak berpenghuni. Gagasan kanibalisme sebagai hal yang tabu digunakan untuk menghilangkan kemanusiaan orang-orang yang ditemui dalam penaklukan ini."
Yang mengkhawatirkan, Schutt juga menulis bahwa perubahan iklim pada akhirnya dapat menyebabkan kanibalisme yang berkaitan dengan kelaparan. "Saya tidak ingin membuatnya terdengar seperti pernyataan bahwa ini akan terjadi. Namun jika Anda melihat alasan utama mengapa kanibalisme terjadi di alam, biasanya karena kepadatan penduduk atau kurangnya bentuk nutrisi alternatif," ujarnya.
Kala Terbunuhnya De Bordes oleh Depresi, Jadi 'Sejarah Kecil' di Hindia Belanda
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR