Nationalgeographic.co.id – Beberapa tahun terakhir, persoalan kerusakan lingkungan semakin mengkhawatirkan dan menjadi ancaman serius terhadap kelestarian bagi seluruh makhluk hidup di Bumi.
Pencemaran udara hingga air akibat kegiatan industri yang tidak menerapkan prinsip sustainability, gas rumah kaca yang menghadirkan ancaman pemanasan global, hingga deforestasi yang mengakibatkan hewan dari spesies tertentu tak lagi memiliki rumah, menjadi kenyataan pelik.
Namun, tak hanya itu penyebab kerusakan lingkungan. Aktivitas harian hingga kebiasaan konsumsi dari manusia yang tidak memperhatikan lingkungan juga mengancam kelestarian. Misalnya saja, kebiasaan menggunakan plastik sekali pakai.
Di Indonesia, penggunaan plastik sekali pakai masih tergolong tinggi. Dilansir dari penelitian Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021, produksi sampah plastik di Indonesia per tahun berada di angka mencapai 66 juta ton.
Baca Juga: Imbas Letusan Gunung Ciremai bagi Kehidupan Cirebon Abad 18-19
Ironisnya, kebiasaan konsumsi tersebut tidak diimbangi dengan kesadaran reuse dan recycle. Sebagian besar sampah yang dihasilkan tidak hanya berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), tetapi juga mengalir ke laut melalui aliran sungai.
Hal ini dibuktikan melalui penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2018. Diperkirakan, sebanyak 0,26-0,59 ton sampah plastik mencemari perairan laut Indonesia.
Kondisi inilah yang membuat Indonesia dinobatkan sebagai penghasil sampah ukuran kecil (mikroplastik) terbesar kedua di dunia, berdasarkan riset yang dilakukan Jambeck Research Group pada 2018.
Dampak sampah di lautan
Banyaknya jumlah sampah mikroplastik di lautan perlahan akan membahayakan ekosistem hewan dan tumbuhan laut.
Baca Juga: Tiga Cara Bagaimana Stres Bisa Berdampak Mengerikan pada Kesehatan
Kerusakan ekosistem yang mungkin terjadi mulai dari rusaknya keseimbangan nutrisi, berubahnya kandungan air laut, hingga risiko kematian hewan akibat tertelan plastik atau terjerat sampah plastik.
Penulis | : | Fathia Yasmine |
Editor | : | Sheila Respati |
KOMENTAR