Sehingga narasi seperti di atas menjadi penting untuk meraih kekuatan dan bertahan hidup di negeri asing penuh sengsara. Kita bisa mendapatkan gambaran tentang penderitaan di sana, seperti yang ditulis Siti Hapipa dalam suratnya: penghasilan sedikit dan banyak hutang.
Di akhir pemaparannya, Ricci menceritakan bagaimana keturunan mereka yang hingga hari ini tak pernah kembali ke Nusantara. Di Srilangka, saat ini, mereka termasuk rumpun etnis Melayu yang masih menggunakan bahasa Melayu di rumah. "Tetapi bahasa Melayu mereka berbeda. Saya bisa berbahasa Melayu, dan saya pikir ketika tiba di sana bisa berkomunikasi dengan mereka, nyatanya tidak," kata Ricci.
Menariknya, mereka masih menjalankan tradisi Islam seperti nenek moyangnya ketika datang ke Ceylon. Mereka membangun masjid Melayu dengan khotbah berbahasa Melayu. Namun, kini jumlah muslim Melayu lebih sedikit dibanding muslim Tamil. Akibatnya, khotbah Jumat yang disampaikan dalam bahasa Melayu hanya ada satu kali dalam sebulan. Bahkan di beberapa tempat, sudah tidak ada lagi.
Fenomena ini seolah tidak terelakkan, sebab mereka sebagai muslim Melayu mengalami double-minority: Minoritas sebagai muslim di negeri Buddhis, dan minoritas sebagai muslim Melayu di komunitas muslim Srilangka, yang mayoritas dari suku Tamil. Oleh karena itu mereka cenderung lemah secara sosial, ekonomi, budaya, dan agama.
Beberapa tradisi masih bertahan hingga sekarang, agar tetap terhubung dengan tempat muasalnya, Jawa. Bagi mereka sebagai diaspora, makanan adalah salah satu medium penghubung itu.
Ricci berkisah, "Awalnya dari legenda tentang seorang syekh bertanya pada umatnya yang sedang sedih. Apa yang dipikirkan, apa yg dirindukan dari Jawa? Orang itu menjawab bahwa ia rindu memakan tempe. Lalu, sang guru secara ajaib memberikan tempe dan membuat orang itu senang." Sejak itu komunitas muslim Melayu selalu menghadirkan tempe sebagai sajian setelah solat Jumat. "Bagi mereka tempe adalah obat rindu akan Jawa".
Perkara tempe juga diceritakan oleh dua perempuan dari Kraton Surakarta yang berhasil pulang ke Jawa dari pengasingan di Ceylon. Bahwa tempe dan salak adalah dua hal yang sangat mereka rindukan dari Jawa.
Bagaimana dengan kaum diaspora masa kini yang menetap di berbagai belahan dunia, apakah Anda juga merindukan tempe?
Penulis | : | Ida Fitri Astuti |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR