Nationalgeographic.co.id—Sebuah penampilan memukau diperlihatkan tatkala wajah pribumi berpidato dengan bahasa Belanda di sebuah podium besar yang digelar di Gent, Belgia.
Dalam pidato itu, Mas Pandji Sosro Kartono mempertunjukkan kemahiran bahasa Belandanya dihadapan banyak orang Eropa, mencatatkan diri sebagai orang Indonesia pertama yang mampu berpidato dengan bahasa Belanda kepada dunia.
Sosok Sosro Kartono adalah kakak kandung dari Raden Ajeng Kartini. Ia merupakan seorang wartawan perang, penerjemah, guru, dan ahli kebatinan Indonesia.
Ia membicarakan tentang satu hutang budi Belanda bagi kaum pribumi dalam pidatonya berjudul Het Nederlands in Indië. Bagi Sosro Kartono, pemerintah Hindia-Belanda sebisa mungkin memberikan pengetahuan yang penting bagi kaum pribumi, utamanya lewat bahasa.
Kees Groeneboer menulis dalam bukunya berjudul Weg tot het Westen: Het Nederlands vor Indië 1600-1950 membahas mengenai bahasa Belanda, sebagai permulaan untuk mengantarkan pengetahuan modern kepada kaum pribumi.
Melalui pemahaman bahasa Belanda, kaum pribumi dapat dengan mudah mengakses segala ilmu pengetahuan modern yang kebanyakan bersumber dari Eropa atau Belanda itu sendiri.
Baik kakak dengan adiknya, Sosrokartono dan RA Kartini, keduanya mahir berbahasa Belanda. Bagi mereka, bahasa Belanda memiliki arti penting bagi bangsanya kala itu.
"Kartini memperlihatkan dalam suratnya pada abad ke-19 bahwa bahasa Belanda juga penting bagi emansipasi wanita pribumi," tulis Groeneboer.
Tercatat dalam buku Groeneboer, pada tanggal 6 November 1899, Kartini menulis surat yang berbunyi: "Bila saya menguasai bahasa Belanda, maka masa depan saya terjamin. Lapangan kerja menjadi terbuka dan saya seolah-olah anak manusia yang bebas."
Dalam korespondensi berikutnya, Kartini menulis: "Saya sangat ingin mempelajari bahasa Belanda dengan sempurna dan menguasainya, sehingga saya bisa berbuat apa saja dengannya lalu saya akan berusaha lewat pena saya menarik perhatian mereka, yang dapat menolong kami, berusaha mengadakan perbaikan di dalam nasib wanita Jawa."
Dari dua bersaudara itulah, muncul keinginan Belanda untuk memberikan pendidikan Barat kepada pribumi, dimulai dari pengajaran bahasa Belanda. Ditunjuklah Conrad Theodor van Deventer, sebagai juru bicara dalam gerakan Politik Etis bagi pribumi.
Dampaknya, Politik Etis menunjang kebutuhan pemerintah Belanda terhadap pribumi yang mahir berbahasa Belanda, baik untuk dalam lembaga maupun luar lembaga pemerintahan.
Maka dari itu, pada abad ke-20, di Hindia-Belanda mulai digencarkan pendidikan bagi kaum pribumi yang memasukkan kurikulum pendidikan dengan pengantar bahasa Belanda.
Baca Juga: Menyelami Pemikiran Beragama RA Kartini dalam Surat-Suratnya
Baca Juga: Misteri Hilangnya Lukisan Karya Kartini Saat Pusaran Geger 1965
Baca Juga: Mengenal Sisi Lain Kartini Lewat 'Kotak Jahit' dan Surat-Surat yang Hilang
Baca Juga: Adakah yang Mampu Menyingkap Teka Teki Raden Ayu Kartini Ini?
Benar dikata Kartini, perkembangan ekonomi menjadi ladang bagi kaum pribumi yang mahir berbahasa Belanda. Membuat sejumlah orang-orang tua menginginkan anak-anaknya untuk mengenyam pendidikan Barat melalui bahasa Belanda.
"Sebenarnya dari situlah (bahasa Belanda) kunci bagi mereka untuk dapat maju secara sosial," lanjut Groeneboer dalam bukunya.
Dari ungkapan pidato Kartono hingga korespondensi Kartini telah berhasil menginisiasi Belanda melakukan Politik Etis. Hal itu, meletakkan dasar bagi pembentukkan sekolah sekolah pribumi dengan penanaman pendidikan Barat.
Sebut saja Sekolah Belanda Pribumi (Hollands-Inlandse School, HIS) yang dibangun pada tahun 1907 dan Sekolah Belanda Cina (Hollands-Chinese School, HCS) pada tahun 1908 sebagai dua sekolah dengan bahasa Belanda sebagai pengantarnya.
Source | : | Weg tot het Westen (1993) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR