Dampaknya, Politik Etis menunjang kebutuhan pemerintah Belanda terhadap pribumi yang mahir berbahasa Belanda, baik untuk dalam lembaga maupun luar lembaga pemerintahan.
Maka dari itu, pada abad ke-20, di Hindia-Belanda mulai digencarkan pendidikan bagi kaum pribumi yang memasukkan kurikulum pendidikan dengan pengantar bahasa Belanda.
Baca Juga: Menyelami Pemikiran Beragama RA Kartini dalam Surat-Suratnya
Baca Juga: Misteri Hilangnya Lukisan Karya Kartini Saat Pusaran Geger 1965
Baca Juga: Mengenal Sisi Lain Kartini Lewat 'Kotak Jahit' dan Surat-Surat yang Hilang
Baca Juga: Adakah yang Mampu Menyingkap Teka Teki Raden Ayu Kartini Ini?
Benar dikata Kartini, perkembangan ekonomi menjadi ladang bagi kaum pribumi yang mahir berbahasa Belanda. Membuat sejumlah orang-orang tua menginginkan anak-anaknya untuk mengenyam pendidikan Barat melalui bahasa Belanda.
"Sebenarnya dari situlah (bahasa Belanda) kunci bagi mereka untuk dapat maju secara sosial," lanjut Groeneboer dalam bukunya.
Dari ungkapan pidato Kartono hingga korespondensi Kartini telah berhasil menginisiasi Belanda melakukan Politik Etis. Hal itu, meletakkan dasar bagi pembentukkan sekolah sekolah pribumi dengan penanaman pendidikan Barat.
Sebut saja Sekolah Belanda Pribumi (Hollands-Inlandse School, HIS) yang dibangun pada tahun 1907 dan Sekolah Belanda Cina (Hollands-Chinese School, HCS) pada tahun 1908 sebagai dua sekolah dengan bahasa Belanda sebagai pengantarnya.
Source | : | Weg tot het Westen (1993) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR