Nationalgeographic.co.id—Malaria sudah lama menjangkit manusia. WHO melaporkan, Afrika menjadi rumah bagi 95 persen kasus malaria dan bahkan 96 persen kematian akibat penyakit itu yang kebanyakan korbannya adalah anak-anak di bawah lima tahun.
Cukup sulit bagi ilmuwan dan ahli medis untuk menangani malaria. Penyakit ini sudah dipelajari sejak lama, bahkan dalam sebuah catatan farmasi Tiongkok di tahun 2737 menyebutkan ganja bisa digunakan sebagai pengobatan malaria.
Sebelumnya, pada Oktober 2021, para ilmuwan juga telah berhasil mengembangkan vaksin malaria untuk pertama kalinya. Pengembangan vaksin itu bahkan dinilai ampuh menghadapi parasit penyakit apa pun.
Namun, bukan berarti urusan kita berperang dengan malaria sudah usai. Secara pengobatan memang parasitnya bisa rentan terhadap beberapa terapi obat, tetapi, di sisi lain juga resisten di pengobatan lain.
Maka, diperlukan pengobatan terhadap pasien yang lebih efektif dan bisa diproduksi untuk segala serangan malaria apa pun.
Para peneliti dari the Australian National University (ANU) menawarkan jawabannya alasannya untuk memecahkan teka-teki demi perang melawan penyakit itu. Temuan mereka itu dipublikasikan di jurnal PLOS Biology pada Rabu, 4 Mei 2022.
Penulis utama Sarah Shafik, peneliti di ANU Research School of Biology menyebutkan, pengobatan antimalaria tertentu hanay efektif untuk membasmi penyakit jika obatnya berada di dalam perut parasit.
"Kami tahu bahwa parasit dapat resistan terhadap beberapa obat sekaligus rentan terhadap yang lain, tetapi kami tidak tahu bagaimana ini terjadi," ujarnya dalam rilis ANU.
Shafik dan timnya telah mengkarakterisasi dua protein malaria, yakni PfMDR1 dan PfCRT. Dua protein ini bekerja sama untuk mengangkut obat-obatan jauh dari daerah di mana mereka memberikan efek menyakitkan dan memusatkannya di 'zoman aman'. Pada akhirnya, proses itu membuat pengobatan jadi tidak efektif.
"Pekerjaan kami menunjukkan bahwa PfMDR1 dan PfCRT bekerja sama untuk mengubah distribusi obat di dalam parasit, membantunya menghindari efek pembunuhan dari satu obat. Namun pada gilirannya, ini berarti parasit menjadi lebih rentan terhadap obat lain," lanjut Shafik.
Meski penyakit ini dapat diobati dengan obat-obatan dan bisa sembuh, parasit malaria mampu beradaptasi dan membangun resistensi terhadap pengobatan saat ini. Kemampuan ini memungkinkan mereka untuk menghindari kematian dan jadi lebih canggih dari pandangan ilmuwan sebelumnya.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR