Baca Juga: Hasil Pemindaian CAT dan Tes DNA Ungkap Tutankhamun Mengidap Malaria
Baca Juga: Benarkah Ganja Bantu Sembuhkan Penyakit Alzheimer? Ini Kata Ahli
Baca Juga: Setelah Sekian Lama Melanda Dunia, Malaria Akhirnya Memiliki Vaksin
Baca Juga: Ilmuwan Pelajari Sel Kekebalan Nyamuk, Mengapa Bisa Kebal Parasit?
"Ini berarti pengobatan malaria yang mampu mengobati pasien saat ini belum tentu efektif dalam beberapa tahun ke depan," kata Shafik.
"Obat standar emas sebelumnya, klorokuin, yang digunakan untuk mengobati malaria selama 20 tahun telah gagal. Pengobatan baru yang muncul hanya bertahan beberapa tahun sebelum parasit mulai mengembangkan resistensi terhadap obat ini." Sebab, parasit dinilai sangat baik dalam mengubah protein tertentu sebagai cara bertahan hidup menghindari efek obat yang membunuhnya.
Lewat penelitian ini, Shafik dan tim mengembangkan pemahamn yang baik dalam merancang pengobatan yang efektif. Efektivitas obat ini diyakini akan ampuh sampai kapan pun ketika parasit sudah belajar dari pengobatan sebelumnya.
Dia menejelaskan caranya "dengan menggunakan kombinasi obat malaria" yang kemudian dikombinasikan dengan jenis obat untuk penyakit lain seperti HIV.
"Tujuan kami adalah untuk menargetkan kemampuan PfMDR1 dan PfCRT untuk mengontrol pergerakan obat di dalam parasit, tetapi juga untuk menghambat fungsi alami penting dari protein yang membantu parasit tumbuh," ujarnya.
Tidak hanya malaria, pengobatan ini diyakini oleh para peneliti dapat membantu menginformasikan pengobatan baru untuk jenis penyakit lainnya, termasuk kanker.
"Ada protein yang dibuat oleh sel kanker manusia yang mirip dengan PfMDR1. Kami telah mengembangkan metode untuk mempelajari protein ini," Shafik menjelaskan
"Dengan mengkarakterisasi PfMDR1 versi manusia dan mencari tahu obat kemoterapi mana yang dapat dipompa keluar dari sel kanker dan bagaimana menghentikan protein dari aktivtasnya ini, kita bisa berada di jalur untuk mengembangkan perawatan yang lebih sukses."
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR