Nationalgeographic.co.id—Kemunculan onderneming atau perkebunan Belanda di Subang, mengiringi cerita tentang kemakmuran di tanah partikelir Pamanukan dan Ciasem menjadi menarik untuk dibaca kembali. P en T Lands, demikian nama perkebunan itu.
Adanya stratifikasi sosial yang timbul di tengah masyarakat, acap kali menyudutkan kalangan pribumi atau penduduk lokal di tanah partikelir Pamanukan dan Ciasem. Terlebih, sejumlah kejahatan Belanda nantinya memunculkan gejolak sosial di masyarakat.
"Sepanjang tahun 1913, gelombang kerusuhan meluas di berbagai tanah partikelir, antara Ciomas, Slipi, Cakung, dan Surabaya," tulis Iim Imadudin beserta tim risetnya.
Imadudin menulis dengan Kunto Sofianto, dan Miftahul Falah dalam jurnal Patanjala yang berjudul Gerakan Sosial di Tanah Partikelir Pamanukan dan Ciasem 1913. Jurnalnya dipublikasi pada tahun 2012.
Agaknya, serangkaian protes tersebut terkait erat dengan kegagalan pembayaran sewa atau pajak, maupun penebusan kerja kompenian. Banyak petani yang mengalami kebangkrutan, karena harta mereka dirampas, dijual, bahkan dibakar.
Berdasarkan aturan baru tentang tanah partikelir, para tuan tanah dapat melakukan pengadilan terhadap para petani yang tidak mampu membayar pajak.
Gelombang kerusuhan tersebut terjadi juga di tanah partikelir Pamanukan dan Ciasem. Pada tanggal 7 Juni 1913, sebanyak 350 orang dari enam desa di wilayah Pamanukan dan Ciasem mengajukan tuntutan meminta keringanan kewajiban pajak.
"Tuntutan tersebut berkembang menjadi aksi demonstrasi pada tanggal 13 Juni 1913," terus Imadudin dan tim dalam tulisannya.
Para petani membubarkan diri setelah bupati menyatakan akan memperjuangkan permintaan mereka. Meski demikian aksi protes semakin meluas ke desa-desa di kawasan tanah partikelir.
Ketegangan tidak hanya bersifat vertikal, bahkan terjadi pula secara horizontal, antara penduduk pribumi dengan orang-orang Cina di Pamanukan.
Penduduk pribumi yang dimaksud adalah para santri dari Pesantren Tegalgubug, dekat Arjawinangun. Mereka bekerja sebagai buruh musiman saat musim panen tiba. Tak lama kemudian muncul desas-desus bahwa tanggal 26 Juni para santri akan menyerang Pecinan.
Mengetahui informasi tersebut, Bupati dan Residen Karawang segera menugaskan polisi Pamanukan, Purwakarta dan tanah partikelir Pamanukan-Ciasem, dibantu militer, bersiaga untuk meredam gejolak yang lebih besar lagi.
Tepat pada tanggal 26 Juni mereka berjaga-jaga di sekitar pasar dan Kampung Cina untuk mencegah berlangsungnya aksi massa. Meski di hari itu, nyatanya, tidak terjadi apa-apa.
Pada tahun 1913 penetapan cukai padi naik hingga 200%. Penyebabnya adalah pengukuran kembali terhadap tanah yang diusahakan penduduk. Petani mengeluhkan kenaikan cukai-padi pada pihak yang berwajib.
"Karena tidak mendapat respon yang baik, petani mengancam para opsiner distrik dan demang ketika berlangsungnya perkumpulan kepala-kepala desa," terangnya.
Selain itu, respon kekecewaan juga ditunjukkan para petani dengan merintangi jalan Wera-Subang dengan pepohonan agar terjadi kecelakaan mobil.
Pada tanggal 7 Juni 1913, Kontrolir Subang memeriksa keluhan penduduk Cigugur dan Bojongkeding (Onderdistrik Pamanukan) di kediaman Wedana Pamanukan.
Hadir sekitar 350 orang yang datang dari Cigugur, Bojongkeding, Bobos, Pamanukan, Tambakdahan, Pancakerta, dan Pancahilir.
Baca Juga: Perkecuan di Klaten Akibat Krisis Petani Perkebunan Belanda Sejak 1875
Baca Juga: Histori Mudik yang Memperparah Pagebluk di Zaman Hindia-Belanda
Baca Juga: Tuan Treub, Sosok di Balik Keindahan Kebun Raya Bogor dan Silang Monas
Baca Juga: Onderneming Banyuasin Mendorong Lahirnya Modernitas di Masyarakat
Suasana rusuh terjadi ketika kontrolir dan wedana tidak mampu memenuhi tuntutan massa. Kedua pejabat beralasan bahwa mereka harus memeriksa tuan tanah dan berkoordinasi dengan asisten residen.
Penduduk diminta kembali ke rumah, namun mereka menolak. Dalam suasana yang semakin tegang, polisi menangkap dua orang yang diduga melakukan hasutan.
Mengetahui penangkapan itu, amarah penduduk semakin memuncak, dan segera menyerang kantor wedana. Alhasil, pihak Kepolisian kewalahan menghadapi amuk massa.
"Petani mencurigai para tuan tanah telah mengambil keuntungan dari pengukuran tersebut," ungkap Imadudin dan tim dalam tulisannya.
Rupanya tuan tanah hanya memikirkan keuntungan pemilik-pemilik saham. "Kesejahteraan penduduk di lingkungan tanahnya tidak diperhatikan," pungkasnya.
Berkembangnya aksi protes di tanah partikelir Pamanukan dan Ciasem sedikit banyak tidak lepas dari pertumbuhan Sarekat Islam (SI) yang amat pesat hingga ke Subang.
Source | : | jurnal Patanjala |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR