Nationalgeographic.co.id—Kompeni Belanda banyak membunuh orang selama menjajah Nusantara. Salah satu kelompok masyarakat yang mereka bunuh adalah orang-orang Tionghoa di Batavia.
Lebih dari 10.000 orang Tionghoa dibantai karena kompeni Belanda merasa iri dan tersaingi terutama dalam bidang perdagangan. Belanda mengamuk dan terjadilah huru-hara besar: ribuan orang Tionghoa dibunuh, dan banyak pula dan rumah dan bangunan mereka dibakar.
Tragedi pembunuhan massal ini terjadi pada tahun 1740. Lokasi utama pembantaian adalah di seputar Kali Angke yang kini masuk dalam wilayah Jakarta Barat.
Kala itu kompeni Belanda berkuasa penuh di Batavia terutama lewa kongsi dagangnya yang amat terkenal, Verenigde Oostindische Compagnie (VOC). Pada waktu yang bersamaan, arus imigrasi ke kota Batavia mengalir deras, termasuk pula datangnya orang-orang Tionghoa.
Orang-orang Tionghoa itu konon mempunyai budi pekerti yang ramah, sopan, dan suka membantu masyarakat pribumi (Betawi). Kepada penguasa daerah mereka cendurung patuh dan menaati peraturan yang berlaku.
Selain itu, orang-orang Tionghoa juga memiliki keahlian berdagang. Untuk itu mereka mau membaur dengan warga pribumi.
"Rupanya, ini membuat khawatir kompeni Belanda. Kompeni takut tersaingi. Makanya, berbagai cara pun mereka lakukan agar tidak bisa disaingi dan bahkan digeser oleh keberadaan orang-orang China itu," tulis Zaenuddin HM dalam buku Kisah-Kisah Edan Seputar Djakarta Tempo Doeloe.
Baca Juga: Ketika Orang-Orang Belanda Minum Air Bekas Mandi Warga Batavia
Baca Juga: Agar Pasukannya Betah di Batavia, Jan Pieterszoon Coen Impor Gadis
Kompeni Belanda melakukan intervensi terhadap warga setempat ataupun orang-orang Tionghoa. Belanda juga merekrut pamong praja untuk dijadikan kaki tangannya.
"Cara jahat kemudian dilakukan dengan mengadakan penangkapan besar-besaran terhadap orang-orang Tionghoa. Di akhir tahun 1739, sekitar seratus warga China ditangkap, mulai dari bekasi hingga Tanjung Priok," catat Zaenuddin.
Source | : | Kisah-Kisah Edan Seputar Djakarta Tempo Doeloe |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR