Merasa terusik, orang-orang Tionghoa mencoba melakukan perlawanan. Nahasnya, Belanda malah menjadi semakin kesal dan keki. Hasil rapat parlemen pada 26 Juli 1740 membuahkan resolusi berupa penangkapan secara terus-menerus terhadap orang-orang Tionghoa yang dianggap mencurigakan atau melawan kekuasaan kompeni Belanda.
Puncak dari kebencian Belanda itu, meletuslah tragedi bengis berupa pembantaian massal yang didahului bentroakan antara orang-orang Tionghoa dengan tentara Belanda pada Oktober 1740. "Secara biadap kompeni Belanda melakukan penyerangan terhadap orang-orang China yang berada di rumah, kedai, jalan, atau bersembunyi di beberapa tempat. Mereka tak diberi celah untuk lari dari kota Batavia. Mereka ditembak dan ditikam pada siang dan malam," tulis Zaenuddin.
Baca Juga: 9 Oktober 1740, Pembantaian Warga Cina di Batavia dan Aspek Politiknya
Baca Juga: Kesaksian Perwira VOC Ketika Prahara 1740 di Tangerang
Baca Juga: Catatan Tionghoa, Ketika Putra Mahkota Tsar Rusia Melancongi Batavia
Baca Juga: Catatan Harian Si Penjagal Tragedi Pembantaian di Batavia 1740
Baca Juga: Benarkah Pao An Tui Membantu Belanda di Masa Perang Kemerdekaan?
Bersamaan dengan itu, ribuan rumah warga Tionghoa di kota Batavia juga dibakar dan barang-barangnya dijarah. Selama hampir tiga hari api berkobar menghangus rumah-rumah dan semua isinya tersebut.
Aksi pembantaian itu menewaskan sedikitnya 10.000 orang Tionghoa. Mayat-mayat mereka bersimbah darah dan bergelimpangan di jalan-jalan, kali, dan kanal sehingga air kali berubah menjadi merah, terutama Kali Angke yang letaknya tak jauh dari permukiman warga Tionghoa.
Dari peristiwa mengerikan inilah kemudian banyak orang berpikiran nama Kali Angke berasal dari bahasa orang Tionghoa. Persisnya, ungkap Zainuddin, berasal dari dua kata bahasa Hokkian, yakni "ang" yang berarti merah dan "ke" yang berarti kali.
Source | : | Kisah-Kisah Edan Seputar Djakarta Tempo Doeloe |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR