Nationalgeographic.co.id—15 Januari lalu, gunung berapi bawah laut Hunga Tonga-Hunga Haʻapai di Tonga meletus dengan dahsyat. Letusannya bahkan membuat gelombang tsunami seantero Samudra Pasifik, dan mengirimkan gelombang kejut atmosfer.
Lewat makalah di jurnal Science yang dipublikasikan pada 12 Mei 2022, para peneliti berpendapat, kemampuan gunung berapi seperti ini pernah terjadi ketika Krakatau di Provinsi Lampung, meletus pada 1883. Peristiwa 1883 itu adalah salah satu letusan gunung berapi paling merusak dalam sejarah.
Penulis utama studi Robin Matoza dari Department of Earth Science at the University of California mengatakan, denyut nadi tekanan yang dihasilkan Gunung Hunga Tonga, amplitudonya sebanding dengan letusan Krakatau. Bahkan, jika dibandingkan dengan letusan dengan letusan Gunung St. Helena di AS "urutannya lebih besar".
"Peristiwa gelombang atmosfer ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan geofisika modern," Matoza berpendapat, dikutip dari Live Science. Dia menjelaskan, semakin tinggi amplitudo suatu gelombang, semakin kuat kekuatannya dalam suatu letusan.
Sebelumnya, gelombang kejut di amtosfer tertangkap dalam misi Ionospheric Connection Explorer (ICON) milik NASA dan satelit Swarm ESA. Para ilmuwan menemukan bahwa beberapa jam setelah letusan, angin yang sangat cepat terbentuk di ionosfer (atmosfer Bumi yang dialiri listrik).
Saat Gunung Hunga Tonga meletus, ia mendorong gumpalan gas, uap air, dan debu raksasa ke langit. Ledakan itu juga menciptakan gangguan tekanan besar di atmosfer. Inilah yang memicu adanya angin kencang dan meluas ke lapisan atmosfer yang lebih tipis dengan cepat.
Letusan itu melepaskan energi sebanding dengan empat hingga 19 megaton ledakan TNT (100 kali bom Hiroshima). Peristiwa ini menarik bagi Matoza dan 70 ilmuwan lainnya dari 17 negara untuk mendokumentasikan dampaknya pada atmosfer.
Sementara studi terbaru kedua yang juga diterbitkan di jurnal Science pada 12 Mei, menunjukkan bahwa denyut yang kuat ini tidak hanya mengguncang atmosfer. Gelombang ini mengirim riak yang melajut melintasi bawah lautan.
Gelombang ini mungkin terlihat di Samudra Pasifik sebagai tsunami kecil 'pendahulu' sebelum letusan. Para peneliti menyebutkan, dampaknya merembet ke Samudra Atlantik, bahkan terdeteksi di Laut Mediterania.
"Ketinggian tsunami 'pendahulu' kira-kira beberapa sentimeter atau lebih, meskipun itu tergantung pada lokasinya," kata Tatsuya Kubota, penulis utama studi dari National Research Institute for Earth Science and Disaster Resilience, Jepang, dikutip dari Live Science.
Menurut Kubota dan rekan-rekan, gelombang di laut ini dipicu oleh gelombang atmosfer. Gelombangnya merambat dengan cepat yang didorong oleh tekanan udara, beberapa jam sebelum tsunami utama yang digerakan oleh seismik yang dihasilkan oleh letusan.
Source | : | Live Science,National Geographic Indonesia,Science |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR