UU Agraris yang semula dinyatakan hanya berlaku bagi Jawa dan Madura, intinya memuat antara lain memberikan legitimasi kepada negara sebagai penguasa tanah-tanah terlantar (woeste gronden) yang tidak atau belum digarap.
Baca Juga: Rupanya Thomas Raffles Bukanlah Penemu Rafflesia. Lantas Siapakah Penemu Sebenarnya?
Baca Juga: Dari Editor Juni 2019: Raffles dan Refleksi Kebinekaan di Tengger
Baca Juga: Empat Anak Raffles Wafat di Bengkulu. Di manakah Nisan Mereka?
Baca Juga: Tatkala Raffles Menjarah Keraton Yogyakarta
Selain itu, Agrarische Wet memberikan dasar kewenangan pada negara untuk melepaskan hak penguasaannya atas tanah-tanah itu, dan memberikannya pada pengusaha perkebunan dalam bentuk erfpacht berjangka 75 tahun.
Hal terpenting dalam Agrarische Wet ini adalah diterapkannya Agrarische Besluit (Staaatsblad No.118/1870) yang intinya menerapkan asas domein verklaring.
Domein verklaring merupakan suatu prinsip yang menyatakan, "semua tanah yang tak terbukti pemiliknya atau tanah terlantar adalah domein atau milik negara," terang Hotman.
Latar belakang kebijakan pertanahan itulah yang menjadi konteks gerakan petani, dalam menghadapi kekuasaan negara atau pemerintahan kolonial. Kebijakan agraria ala Raffles dengan teori domein-nya yang kemudian diterapkan Pemerintah Hindia-Belanda, telah mengundang sejumlah gerakan petani untuk menentang.
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR