Caesar mendapat dukungan dari pasukan setia yang akan mengikutinya menuju kemenangan atau kematian. Menurut penyair Lucan, Caesar menyatakan: “Di sini saya meninggalkan perdamaian dan hukum yang dinodai. Keberuntungan, Andalah yang saya ikuti. Perpisahan dengan perjanjian. Mulai sekarang, perang adalah hakim kami.”
Setelah penyeberangan
Pilihan yang dihadapi Romawi adalah apakah selama beberapa dekade lebih banyak faksionalisme dan kekacauan politik, atau menerima orang kuat untuk memaksakan reformasi, dan mengatur urusannya. Dengan cepat melewati tepi sungai kecil ini, Caesar membuat republik itu meluncur ke pilihan kedua.
Baca Juga: Cato Muda, Musuh Abadi Caesar, Pemimpin Romawi Jujur di Era Korup
Baca Juga: Julius Caesar, Akhir yang Berdarah dari Seorang Diktator Romawi
Baca Juga: Kisah Augustus, Kaisar Romawi yang Merupakan Anak Angkat Julius Caesar
Baca Juga: Sisi Lain Julius Caesar, Kaisar Romawi Kuno Dicap Pezina Buruk
Sejak melintasi Rubicon, Caesar dan legiunnya telah mengusir Pompeius dan pasukannya dari Italia. Tapi serangan militer ini ini baru permulaan. Dalam upaya untuk menghancurkan Pompeius dan sekutunya yang luas di seluruh dunia Romawi, Caesar menempuh jarak yang mencengangkan. Ia memadamkan pemberontakan di Marseille modern di Prancis sebelum mengalahkan loyalis Pompeius di Spanyol pada Pertempuran Ilerda pada bulan Juni.
Tahun 48 Sebelum Masehi didedikasikan untuk mengejar Pompeius di seluruh Yunani. Pompeius mati dibunuh oleh Ptolemy XIII yang menuruti arus politik Romawi. Perang ini berlangsung selama lima tahun hingga Pompeius dan anak buahnya disapu bersih oleh pasukan Caesar.
Setelah kembali ke Roma, Caesar terus menerapkan reformasi signifikan di tahun kehidupan yang tersisa baginya. Ini termasuk meningkatkan distribusi tanah dan biji-bijian, serta reorganisasi pemerintah lokal di seluruh Italia.
Meski melakukan banyak reformasi, Caesar rentan di koridor kekuasaan dan akhirnya mati di tangan para musuhnya.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR