Faktanya, katanya, lemak hewani adalah satu-satunya sumber kolesterol berbahaya yang signifikan bagi kebanyakan orang. Oleh karena itu, memotong konsumsi daging dapat menghasilkan darah yang jauh lebih sehat.
Tidak hanya itu, ia melanjutkan, ada juga hubungan kuat antara makan daging sapi dan jenis kanker tertentu. "Ada sangat sedikit serat dalam daging sapi. Dan tidak memiliki serat dikaitkan dengan peningkatan risiko jenis kanker tertentu, termasuk kanker kolorektal, serta diabetes," Di Stefano menjelaskan.
Jadi ada banyak perlindungan yang diberikan oleh tanaman dan kacang-kacangan dan biji-bijian dalam makanan Anda. Sedangkan daging tidak dapat memberikan perlindungan tersebut.
Baca Juga: Diet Rendah Garam: Diet Khusus Bagi Penderita Penyakit Hipertensi
Baca Juga: Ternyata Mengubah Isi Piring Dapat Menyelamatkan Kesehatan dan Bumi
Baca Juga: Makan Berlebihan Bukanlah Penyebab Utama Obesitas, Kata Studi Terbaru
Namun demikian, ada satu populasi besar yang secara tradisional makan sesuatu yang mirip dengan diet semua daging sapi, yaitu suku Maasai, suku di Kenya dan Tanzania Utara yang makan susu, daging, dan darah hampir secara eksklusif.
Deskripsi tentang suku tersebut seperti yang dijelaskan oleh sebuah penelitian di jurnal PLOS ONE pada tahun 2012. Suku Maasai umumnya memiliki kolesterol darah rendah dan tidak menunjukkan tingkat penyakit jantung yang tidak biasa.
Namun, para peneliti melaporkan dalam penelitian itu bahwa suku Maasai juga kemungkinan memiliki adaptasi genetik yang membantu mereka mengatasi pola makan mereka yang tidak biasa.
Dalam sebuah artikel di Healthline pada tahun 2018, bahwa daging yang dimakan orang Maasai berasal dari hewan yang menjalani kehidupan yang sangat berbeda dari sapi yang berakhir di supermarket di tempat lain di dunia. Itu juga dapat menjaga kesehatan Maasai secara keseluruhan meskipun tidak ada keragaman dalam makanan mereka.
Namun kanker dan penyakit jantung bukan satu-satunya alasan untuk menyempurnakan diet Anda dengan jenis makanan lain, kata DiStefano.
Source | : | PLOS ONE,Live Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR