Nationalgeographic.co.id—Rawa gambut menjadi bagian terpenting dari proses penelusuran sejarah perkembangan manusia.
"Artefak yang terkubur di bawah rawa—termasuk tubuh manusia—dapat disimpan dalam kondisi sangat baik selama ratusan, bahkan ribuan tahun," tulis Mark Mancini kepada How Stuff Works dalam sebuah artikel berjudul Peat Bogs Are Freakishly Good at Preserving Human Remains yang terbit pada 16 Februari 2021.
Banyak orang meninggal di rawa-rawa ini atau ditempatkan di sana setelah kematian mereka. Dan tubuh-tubuh rawa ini, sebagaimana mereka dikenal, telah ditemukan di seluruh dunia.
Banyak mumi rawa yang masih sebagian atau seluruh kulit aslinya masih utuh. Seperti halnya The Tollund Man, mayat berusia 2.300 tahun yang ditemukan dari rawa gambut Denmark pada tahun 1950.
"Ia memiliki kerangka tangan, tetapi di tempat lain kulitnya sangat terawat sehingga detail-detail kecil seperti kerutan di dahinya juga masih terlihat," tambahnya.
Meskipun kulitnya masih utuh, kondisi mayatnya mengalami perubahan bentuk dan tekstur. Mancini menyebut, "meskipun kulit Manusia Tollund tidak membusuk, proses mumifikasi memang mengubah penampilan dan teksturnya."
"Seperti Pria Cashel, Wanita Haraldskjaer dan banyak tubuh mumi yang ditemukan di rawa lainnya di Eropa Utara, dia memiliki kulit yang cukup cokelat," imbuhnya lagi.
Mumi rawa sering kali memiliki kulit yang kasar dan berwarna coklat tua. Beberapa dari mereka juga telah mengawetkan rambutnya dan berubah warnanya menjadi warna merah saat ditemukan.
Menurut Mark Mancini, hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh sphagnan, polimer yang baru ditemukan yang merembes keluar dari sphagnum moss yang mati.
Kulit dibuat melalui proses yang memperkuat ikatan antara beberapa serat alami pada kulit hewan. Sebagai zat penyamak , sphagnan memiliki efek yang sama pada kulit manusia, menjadikannya keras dan berwarna seperti teh.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Source | : | How Stuff Works |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR