Nationalgeographic.co.id—Dalam sejarah kuno, Sparta sering dianggap sebagai salah satu kota paling tangguh dan berkuasa. Prestasi mereka dalam bertempur menjadi legenda hingga zaman modern. Selain kuat, kota ini memiliki warga yang setia. Ini berkat kode etik dan tradisi yang dipegang teguh oleh segenap warga Sparta. Namun bagai pedang bermata dua, kekuatan Sparta jadi penyebab kejatuhannya.
Fokus Sparta sejak awal berdiri
Bukti sejarah menunjukkan Sparta didirikan sekitar 1000 Sebelum Masehi oleh suku nomaden asal Dorian.
Sejak awal berdiri, kota ini meningkatkan kekuatan dan meletakkan prinsip dasar pemerintahan serta agenda politiknya.
Dengan fokus yang signifikan pada peperangan dan kesetiaan, Spartan menciptakan serangkaian tradisi. Tradisi ini menjaga nilai-nilai penting Sparta, yang juga dilakukan oleh warganya sejak kecil. Dewan kota akan memeriksa bayi yang baru lahir untuk menentukan apakah mereka sehat secara fisik. “Yang sehat dapat bergabung dengan masyarakat Sparta, sedangkan bayi yang cacat dibiarkan mati,” ungkap Evan Andrews dilansir dari laman History.
Sejarawan kuno Plutarch mengeklaim bahwa bayi Sparta yang terlahir sakit dilemparkan ke jurang di kaki Gunung Taygetus. Namun sebagian besar sejarawan sekarang menganggap ini sebagai mitos. Jika bayi Sparta dinilai tidak layak untuk tugas masa depan sebagai tentara, kemungkinan besar ditinggalkan di lereng bukit terdekat. Dibiarkan sendirian, anak itu akan mati atau diselamatkan dan diadopsi oleh orang asing.
Sejak usia muda, laki-laki menjalani resimen pelatihan pertempuran ekstensif di mana mereka ditempa dalam segala bentuk pertempuran. Pelatihan ini disebut agoge dan karena kebrutalannya sangat sedikit pria yang lulus dalam pelatihan ini. Mereka yang berhasil akan menjadi tentara Sparta mematikan yang kita kenal sekarang.
Bagaimana dengan para wanita? Wanita Sparta mendapatkan pendidikan diplomasi dan politik untuk mengelola urusan negara ketika para pria berperang. Wanita Spartan diberikan lebih banyak hak daripada di tempat lain pada periode ini.
Persaingan Athena dan Sparta
Pada 480 Sebelum Masehi, Kaisar Xerxes dari Kekaisaran Persia menggiring pasukannya ke Yunani. Dengan kekuatan angkatan laut dan darat yang besar, ia berusaha menaklukkan seluruh Yunani. Raja Leonidas dan 300 Sparta pemberaninya melawan pasukan darat Xerxes di Thermopylae. Mereka bersekutu dengan negara-kota Yunani, termasuk Athena. Dengan ini, Sparta mampu mengusir pasukan angkatan laut Persia.
Setelah kemenangan dalam Perang Persia, Athena dan Sparta menjadi dua kota paling berpengaruh di Yunani. Masing-masing terus berusaha memperluas kekuatan militer dan politik mereka. Konflik kepentingan antara keduanya menyebabkan serangkaian pertempuran yang dikenal sebagai Perang Peloponnesia.
Dalam 50 tahun setelah perang Persia, Athena memperluas jangkauannya melintasi Mediterania. Mereka membentuk aliansi berbagai negara kota yang kemudian dikenal sebagai Liga Delian. Sparta melakukan hal yang sama dengan wilayah Peloponnesia di bawah pengaruhnya. Pertempuran sering terjadi antara kedua liga. Pada akhirnya, pertempuran ini berdampak pada sumber daya dan kekuatan militer keduanya.
Perang Peloponnesia
Pada 459 Sebelum Masehi, perang pecah antara dua sekutu Spartan, Korintus dan Megara. Athena mengambil kesempatan ini untuk bersekutu dengan Megara dan menawarkan bantuan militer dan keuangan kota.
Ketika Sparta datang membantu Korintus, konflik intermiten selama lima belas tahun pecah antara Athena dan Sparta. Ini dikenal sebagai Perang Peloponnesia Pertama.
Pada 446 Sebelum Masehi, Sparta menandatangani perjanjian damai 30 tahun dengan Athena. Ini mengakhiri pertempuran sehingga kedua kota dapat fokus pada pertumbuhan mereka.
Perdamaian tidak bertahan lama. Perjanjian ini segera diuji ketika Athena berpartisipasi dalam pertempuran melawan Korintus. Atas permintaan Korintus, Sparta terpaksa menyatakan perang terhadap Athena, menandai dimulainya Perang Peloponnesia Kedua.
Keduanya memiliki kekuatan yang tidak tertandingi, Sparta dengan pasukan daratnya dan Athena dengan kekuatan Angkatan lainnya. Akibatnya, sulit ditentukan siapa pemenangnya.
Di sisi lain, kedua belah pihak mengalami kerugian besar dalam hal tentara dan sumber daya. Ini memaksa Athena dan Sparta untuk mengakhiri perang dan lagi-lagi membuat perjanjian damai pada 421 Sebelum Masehi. Alih-alih berlangsung selama 50 tahun seperti yang disepakatkan, 6 tahun kemudian mereka bertempur lagi.
Dengan kekuatannya, Sparta memperluas wilayah kekuasaan dengan paksaan dan kekerasan. Kekaisaran meluncurkan invasi skala penuh ke wilayah Athena. Sparta akhirnya menjadi pemenang pada 405 Sebelum Masehi melawan Athena dalam Pertempuran Aegospotami. Sparta jadi kekuatan dominan di seluruh Yunani.
Tradisi jadi senjata makan tuan
Sparta menderita masalah, masalah yang sama yang memberinya kekuatan. Ujian kesetiaan dan resimen pelatihan militer yang ketat membuat tidak sembarang orang bisa menjadi warga negara Sparta.
Faktanya, kewarganegaraan Sparta hanya diperuntukkan bagi mereka yang berasal dari garis keturunan tertentu. Ini menyebabkan krisis populasi. Tanpa penduduk, tidak ada yang bisa ditarik menjadi tentara.
Dengan pengaruhnya yang berkembang dan krisis populasi yang parah, Sparta harus menggunakan tenaga kerja budak untuk tentara dan logistiknya. Budak-budak ini, yang disebut helot, tidak memiliki tingkat loyalitas yang sama kepada Sparta seperti yang dilakukan warganya.
“Sparta memiliki hierarki sosial yang berbeda dari yang lain,” tutur Wu Mingren di laman Ancient Origins. Bagian atas piramida sosial ditempati oleh dua raja, yang kekuasaannya diperiksa oleh 'dewan tetua'. Para tetua ini dipilih dari kelas berikutnya, spartiates. Di bawah kelas bangsawan ini ada kelas menengah yang disebut perioeci. Mingren menambahkan, “Kelas terendah, yang juga terbesar, dalam masyarakat Sparta dikenal sebagai helot.”
Tradisi lama Sparta berarti tidak ada cara untuk melatih tentara baru dengan cepat. Penghalang tinggi untuk masuk ke masyarakat Sparta membuat warganya perlahan menjadi minoritas di wilayah mereka.
Jumlah yang semakin berkurang dan penguasa yang tidak kompeten menimbulkan ketidakpuasan dan kegelisahan di kalangan rakyat jelata. Pemberontakan pun bermunculan dan Sparta tidak mampu untuk menekan pemberontakan.
Kejatuhan Sparta
Salah satu negara kota di bawah kendali Sparta adalah Thebes. Negara kota ini tumbuh menjadi lebih kuat setelah perang Peloponnesia. Orang Thebes bertekad untuk mengusir pasukan Sparta dari tanah air mereka. Sparta tidak punya pilihan selain menyatakan perang terhadap Thebes. Pada 371 Sebelum Masehi, pasukan Sparta berbaris untuk berperang melawan Thebans dalam Pertempuran Leuctra.
Namun karena kekurangan warga negara, helot terpaksa digunakan dalam pertempuran. Para helot yang tidak berpengalaman dalam pertempuran dan jenderal Thebes, Epaminondas, adalah seorang ahli taktik yang mahir. Sang Jenderal paham bagaimana cara melawan taktik pertempuran Sparta dengan baik.
Pertempuran itu memberikan kemenangan besar bagi Thebes. Alih-alih mempertahankan wilayahnya saja, Thebes dengan percaya diri terus melakukan serangan militer ke wilayah Sparta yang lainnya.
Kekalahan Sparta di Leuctra menyebabkan pembubaran Liga Peloponnesia. Sebagian besar sekutunya memutuskan untuk menjauhkan diri dari negara-kota yang gagal. Aliansi Thebes dengan Persia semakin menghancurkan sisa-sisa kekuatan Sparta, wilayahnya pun makin berkurang.
Sparta diizinkan untuk tetap merdeka, tetapi ini segera berubah dengan pembunuhan Raja Nabis pada tahun 192 Sebelum Masehi.
Setelah kekalahan Liga Archean oleh Romawi, Sparta dimanfaatkan untuk menaklukkan Yunani. Romawi mengizinkan Sparta agar tetap menjadi negara kota yang independen. Ironisnya, ini hanya teori belaka. Sparta tahu betul bahwa mereka tidak lagi memiliki kekuatan untuk mempertahankan diri sendiri.
Invasi Visigoth pada 396 Masehi jadi pukulan telak terakhir bagi kehancuran Sparta. Sparta dijarah, penduduknya dijual sebagai budak. Akhir yang memalukan bagi negara kota Yunani Kuno yang paling disegani dulu.
Source | : | History,History of Yesterday,Ancient Origins |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR