Nationalgeographic.co.id—Setelah paus biru, dalam dunia hewan laut, paus sirip adalah paus terbesar di dunia. Sayangnya, manusia telah memburu kedua spesies tersebut hingga mereka hampir punah.
Setelah larangan penangkapan ikan paus komersial pada tahun 1976, stok makhluk yang berumur panjang ini pulih kembali. Seperti yang dilaporkan dalam jurnal Scientific Reports pada 7 Juli 2022 dengan judul Return of large fin whale feeding aggregations to historical whaling grounds in the Southern Ocean.
Dalam studi tersebut, para peneliti dan pembuat film bersama-sama menyajikan video dan foto kelompok besar hingga 150 paus sirip selatan di tempat makan bersejarah mereka. Ini lebih dari yang pernah didokumentasikan sebelumnya menggunakan metode modern. Mengingat peran kunci paus ini dalam daur ulang nutrisi spesies lain di ekosistem Antarktika - seperti krill - juga dapat mengambil manfaat dari jumlah rebound mereka.
"Saya belum pernah melihat begitu banyak paus di satu tempat sebelumnya dan benar-benar terpesona menyaksikan kelompok besar ini makan," kata Prof Bettina Meyer, ahli biologi di Alfred Wegener Institute, Helmholtz Center for Polar and Marine Research (AWI) dan di Universitas Oldenburg serta Institut Helmholtz untuk Keanekaragaman Hayati Laut Fungsional.
Dari Maret hingga Mei 2018, ia memimpin ekspedisi dengan penelitian pemecah es Polarstern di wilayah Semenanjung Antarktika. Di mana kelompok hingga 50 atau bahkan 70 paus sirip (Balaenoptera physalus quoyi) mereka amati.
Ekspedisi itu menyelidiki efek perubahan iklim pada krill Antarktika. Efek ini yang membentuk dasar jaring makanan Antarktika, tumbuh hingga enam sentimeter. Krustasea bioluminescent kecil adalah sumber makanan utama bagi ikan, penguin, anjing laut dan paus.
Selama ekspedisi, tim yang dipimpin oleh Dr Helena Herr dari Universität Hamburg dan tim kamera dari BBC bersama-sama menggunakan helikopter onboard Polarstern untuk penerbangan survei, menghitung dan merekam stok paus. Pada 22 penerbangan, tim menempuh total 3251 kilometer dan menghitung 100 kelompok paus sirip. Mereka masing-masing terdiri dari satu hingga empat paus.
Selain itu, tim peneliti paus juga melihat sekelompok 50 paus sirip selatan dekat Pulau Gajah di Laut Weddell di lepas Semenanjung Antarktika. Kemudian mereka melihat lagi lebih dari 70 di tempat yang sama. "Saya langsung berlari ke monitor, yang menggunakan metode pengukuran akustik untuk menunjukkan keberadaan dan ukuran kawanan krill di dalam air," kenang Meyer. "Dan berdasarkan data, kami dapat mengidentifikasi kawanan, bahkan melihat bagaimana paus memburu mereka."
Tapi paus tidak hanya memakan krill, mereka juga menguntungkan mereka. Sebab, kotoran ikan paus bisa menyuburkan lautan, karena nutrisi yang dikandungnya. Nutrisi seperti besi, yang relatif jarang di Antarktika sangatlah penting untuk pertumbuhan fitoplankton (mikroalga) di dalam air. Pada gilirannya, fitoplankton adalah sumber makanan bagi krill. "Ketika populasi paus bertambah, hewan-hewan itu mendaur ulang lebih banyak nutrisi, meningkatkan produktivitas Samudra Selatan. Ini mendorong pertumbuhan alga, yang sebagian menyerap karbon dioksida dari atmosfer melalui fotosintesis. Sehingga mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer," jelas Meyer.
Pemulihan stok paus sirip tampaknya menjadi tren satu tahun setelah ekspedisi Polarstern. Tim peneliti paus dan BBC kembali ke Pulau Gajah dengan kapal sewaan dan mengamati hingga 150 paus. "Bahkan kita masih belum mengetahui jumlah total paus sirip di Antarktika, karena kurangnya pengamatan simultan. Ini bisa menjadi pertanda baik, karena hampir 50 tahun setelah larangan perburuan paus komersial, populasi paus sirip di Antarktika sedang rebound," kata Meyer.
Data ilmiah untuk proposal ini disusun dan dievaluasi oleh para ahli dari Alfred Wegener Institute. Permohonan aplikasi KKP Laut Weddell sebagai tempat perlindungan bagi spesies yang menyukai cuaca dingin didukung oleh banyak negara, tetapi belum disetujui oleh CCAMLR (Konservasi Sumber Daya Kehidupan Laut Antarktika).
Rahasia Mengontrol Populasi Nyamuk: Aedes aegypti Jantan Tuli Tidak Bisa Kawin!
Source | : | The Guardian |
Penulis | : | Wawan Setiawan |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR