Nationalgeographic.co.id—Semangat kaum revolusioner Prancis menjatuhkan rajanya, Louis XVI, membuat kerajaan itu berubah sistem politik. Singkatnya, Napoleon Bonaparte jadi kaisar pertama Republik Prancis yang hendak membawa semangat revolusi ini ke seluruh Eropa.
Kesadaran rakyat jelata adalah hal yang dikhawatirkan banyak monarki di Eropa. Banyak kerajaan-kerajaan Eropa akhirnya membentuk persekutuan untuk berperang melawan Napoleon. Perang di Eropa pun berkecamuk dari 1792 hingga 1815, ketika Napoleon berhasil dikalahkan.
Akan tetapi, perang itu justru menularkan Revolusi Prancis kepada negara dan kerajaan di Eropa. Dampaknya jangka panjang, mulai dari sosial, pemikiran filsafat politik, hingga revolusi kemerdekaan koloni.
Sejarawan Eropa dan pengajar di University of Tennessee Vejas Gabriel Liulevicius menjelaskan, ada perubahan pada Eropa pasca kekalahan Napoleon. Kaum revolusioner Prancis membuat pembaruan di bidang militer. Tahun 1793, Komite Keamanan Publik mendeklarasikan mobilisasi universal bangsa Prancis (levée en mass) yang menyatakan setiap orang harus direkrut untuk perang.
"Laki-laki harus berperang, perempuan harus memproduksi untuk usaha perang, dan bahkan laki-laki tua harus berdiri di tempat umum memberikan pidato patriotik," tulis Lilevicius di Wondrium Daily di artikel berjudul The Influence of the French Revolution on European History. "Jika kedaulatan adalah milik rakyat atau bangsa kini, maka semua orang terlibat dalam perang, baik prajurit maupun sipil."
Masyarakat Prancis pada saat itu dimotivasi oleh ideologi patriotik dari revolusi untuk memperjuangkan kebebasan. Sehingga, ketika Napoleon melakukan kampanyenya berperang dengan kerajaan-kerajaan Eropa, tentaranya sangat banyak untuk dikirimkan.
Motivasi mereka tidak lagi pasif yang diatur-atur oleh raja atau pangeran di masa sebelumnya. Hal ini membuat kenaikan pangkat bisa dilakukan berkat prestasi, bukan karena apakah seorang prajurit punya latar belakang bangsawan. Liulevicius memperkirakan, hal inilah yang membuat orang-orang jenius seperti Napoleon naik pangkat.
Melibatkan masyarakat setelah Revolusi Prancis, membuat mereka jadi gigih di medan perang. Walau amatir dalam menggunakan senjata, tentara Prancis terus menghujani tentara Jerman dalam beberapa perangan. "Setiap Prancis menembakkan meriam mereka, mereka menyanyikan lagu kebangsaan mereka yang sengit, La Marseillaise dan berteriak, 'Vive la nation!'," ujarnya.
Apa yang membuat Napoleon dan Prancis gigih untuk menyerang kerajaan-kerajaan tetangga, adalah semangat dan klaim mereka sebagai pembebas. Selama Perang Napoleon, slogan mereka adalah, "Perang dengan semua raja, damai dengan semua orang!" Hal itu terjadi saat Belanda jatuh di tangan Prancis dan pemimpinnya diganti oleh adik Napoleon, Louis Bonaparte.
Penyair Jerman Johann Wolfgang von Goethe menyimpulkan, "Di sini dan sekarang sera baru sejarah dunia dimulai." Dia memandang perubahan Revolusi Prancis lewat kampanye militer adalah mengalahkan otoritas lama dan menjadi otoritas revolusioner baru.
Namun, invasi Prancis justru memicu reaksi berantai perlawanan nasionalisme terhadap Prancis. Banyak orang di Jerman, Spanyol, dan Rusia, bergabung jadi relawan nasionalis untuk berunjuk rasa memerangi perang gerilya melawan pembebas Prancis.
Secara geopolitik, Prancis pada abad ke-18 merupakan musuh bagi Inggris. Baik di masa monarki maupun republik, Prancis sangat mendukung revolusi kemerdekaan di Amerika Serikat dari kolonialisme Inggris.
Sejarawan dari University of Melbourne Darius von Guttner di jurnal Agora mengatakan, Revolusi Prancis dan Amerika jadi titik pencerahan dalam perubahan sejarah Eropa. Masyarakat Eropa mulai berpikir tentang kebebasan.
"Dengan masing-masing upaya reformasi ini mengancam hak-hak istimewa berbagai kelompok kepetingan, mereka yang berdiri kehilangan pembelaan diri mereka sendiri dengan menantang hak raja untuk mengubah undang-undang dan mengubah kebiasaan yang dilindungi oleh tradisi," jelas Guttner. Keduanya mengalami keresahan yang sama: pembatasan oleh monarki yang ada di Eropa.
"Sejarawan dengan perspektif berbeda, seperti Peter McPhee, François Furet dan William Doyle, setuju bahwa konflik yang mendahului revolusi bukan hanya produk sampingan dari struktur pemerintahan yang ketinggalan zaman dan tidak efisien, tetapi–seperti di Eropa lainnya–mereka berakar kuat dalam struktur sosial hierarkis Prancis yang kompleks," lanjutnya.
Dari tekanan pada rakyat inilah, seluruh ideologi modern muncul, terang Liulevicius. Pendukungnya berpendapat bahwa sistem dari ideologi ini bisa melayani rakyat dengan baik. beberapa di antaranya, lahirlah liberalisme yang menekankan kebebasan individu pada ekonomi dan politik.
Baca Juga: Kisah Ratu Marie Antoinette yang Dieksekusi Saat Revolusi Prancis
Baca Juga: Pengaruh Politik Revolusi Prancis yang Berkelana Hingga Hindia Belanda
Baca Juga: Membuka Pesan di Balik Lagu Internationale untuk Perjuangan Buruh
Baca Juga: Makna Semboyan Liberte, Egalite, Fraternite dalam Budaya Prancis
Nasionalisme pun tumbuh kuat pada komunitas nasional, terutama pada abad ke-19 dan ke-20. Pengaruh ini bermunculan di negeri-negeri koloni Eropa di benua lain, termasuk Indonesia atas kolonialisme Belanda.
Ideologi modern yang tidak kalah populer berkat Revolusi Prancis muncul di abad ke-19 oleh Karl Marx. Liulevicius berpendapat, Revolusi Prancis adalah tahap sejarah yang diperlukan untuk menciptakan sosialisme dan komunisme.
Di sisi lain, kalangan konservatif juga terinspirasi dari Revolusi Prancis. Gerakan radikal revolusioner menginspirasi konservativisme modern untuk menentang kesenjangan politik yang menyediakan templatnya untuk dieksplorasi.
Gerakan radikal Revolusi Prancis pun turut menginspirasi pemberontakan radikal lainnya di abad ke-20. Misalnya gerakan anarki untuk mengarahkan tirani, atau Revolusi Rusia tahun 1917 ketika kaisar digulingkan oleh Lenin dan kaum Bolshevik.
Source | : | academia,sumber lain |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR