Mereka memperkirakan bahwa tsunami purba memiliki ketinggian setidaknya 16 m dan menempuh jarak antara 3,5 hingga 1,5 km ke daratan dari garis pantai paleo.
Hampir tidak adanya situs arkeologi A-B Neolitikum Pra-Tembikar (11.700-9.800 tahun yang lalu) menunjukkan bahwa situs-situs ini telah dihapus oleh tsunami.
Sedangkan situs-situs Neolitikum Neolitikum Pra-Tembikar yang lebih muda (9.250-8.350 tahun yang lalu) dan kemudian situs-situs Tembikar-Neolitikum (8.250-7.800 tahun yang lalu) menunjukkan pemukiman kembali setelah peristiwa tersebut.
"Kami tidak dapat mengetahui dengan pasti mengapa orang tidak tinggal di sana, di tempat yang berlimpah dengan bukti tempat tinggal manusia purba dan awal kehidupan desa di Tanah Suci," kata Profesor Thomas Levy.
Levy adalah seorang peneliti di Departemen Antropologi dan Laboratorium Levant dan Cyber-Archaeology di Scripps Center for Marine Archaeology di University of California, San Diego.
"Apakah lingkungan terlalu berubah untuk mendukung kehidupan? Apakah tsunami merupakan bagian dari pengetahuan budaya mereka, apakah mereka menceritakan kisah tentang peristiwa yang merusak ini dan menjauh? Kami hanya bisa membayangkan."
Sementara itu, Shtienberg mengatakan, bahwa proyek mereka berfokus pada rekonstruksi iklim kuno dan perubahan lingkungan selama 12.000 tahun terakhir di sepanjang pantai Israel. "Dan kami tidak pernah bermimpi menemukan bukti tsunami prasejarah di Israel," kata Shtienberg.
Menurutnya, para ahli tahu bahwa pada awal Neolitik, sekitar 10.000 tahun yang lalu, pantai berjarak 4 km (2,5 mil) dari tempat sekarang.
"Ketika kami memotong inti terbuka di San Diego dan mulai melihat lapisan cangkang laut yang tertanam di lanskap Neolitikum yang kering, kami tahu bahwa kami mendapatkan jackpot," kata Shtienberg.
Laporan penelitian ini telah diterbitkan di jurnal PLoS ONE dengan judul "A Neolithic mega-tsunami event in the eastern Mediterranean: Prehistoric settlement vulnerability along the Carmel coast, Israel."
Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo
Source | : | PLoS One,University of California - San Diego |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR