Nationalgeographic.co.id—Para ilmuwan mengonfirmasi fosil burung nasar atau burung bangkai pertama Australia setelah lebih dari 100 tahun dideskripsikan sebagai elang. Penemuan ini menyoroti keragaman megafauna Australia dan hewan lainnya ribuan tahun yang lalu pada periode Pleistosen.
Penemuan oleh Flinders University dan ahli paleontologi Museum Australia Selatan ini mengubah nama burung tersebut. Fosil tersebut berganti nama menjadi Cryptogyps lacertosus.
Nama tersebut artinya hering tersembunyi yang kuat. Burung tersebut hidup pada akhir periode Pleistosen Australia antara 500 dan 50 ribu tahun yang lalu.
Laporan penelitian tersebut telah diterbitkan di Zootaxa dengan judul "A new look at an old Australian raptor places “Taphaetus” lacertosus de Vis 1905 in the Old World vultures (Accipitridae: Aegypiinae)" belum lama ini. Publikasi tersebut merupakan jurnal akses terbuka yang dapat diperoleh secara daring.
"Hari ini kita mengenal elang ekor baji yang sedang memetik bangkai kanguru di pinggir jalan. Ribuan tahun yang lalu, seekor burung yang sangat berbeda akan mengisi peran sebagai konsumen bangkai, yang sekarang akan diasosiasikan oleh kebanyakan orang dengan dataran Afrika," kata penulis utama Ellen Mather, dari Flinders University Palaeontology research lab.
Berbagi langit dengan elang ekor baji, burung bangkai yang sudah punah ini juga berbagi dengan herbivora berkantung besar seperti Diprotodon. Tidak hanya itu, juga ada karnivora ganas termasuk singa marsupial Thylacoleo.
Tetapi penelitian telah mengungkapkan bahwa tidak seperti sepupunya yang berekor baji dengan ukuran yang sama, Cryptogyps bukanlah seekor elang. Itu adalah burung bangkai 'Dunia Lama', kelompok yang sampai sekarang tidak dikenal di Australia.
"Kami membandingkan spesimen fosil dengan burung pemangsa dari seluruh dunia, dan segera menjadi jelas bahwa burung ini tidak diadaptasi menjadi pemburu, dan juga bukan rajawali atau elang," kata Mather.
"Fitur tulang kaki bagian bawah terlalu terbelakang untuk mendukung otot yang dibutuhkan untuk membunuh mangsa."
"Ketika kami menempatkan Cryptogyps di pohon evolusi, ini mengkonfirmasi kecurigaan kami bahwa burung itu adalah burung pemakan bangkai, dan kami sangat senang akhirnya mempublikasikan spesies ini," Mather menambahkan.
Pertama kali dijelaskan pada tahun 1905 oleh Charles Walter de Vis, seorang ahli burung Inggris yang energik yang menggambarkan banyak taksa secara berurutan saat berada di Queensland. Fosil itu pertama kali diberi nama Taphaetus lacertosus (elang kuburan yang kuat).
Cryptogyps lacertosus kini telah diberi genus baru untuk spesies yang luar biasa, kata penulis senior Profesor Trevor Worthy dari Flinders University.
"Penemuan ini memecahkan misteri apa yang terjadi pada begitu banyak bangkai megafaunal ketika benua itu tidak memiliki burung bangkai. Sekarang kita tahu mereka ada di sini. Mereka tersembunyi di depan mata," katanya.
Terutama penting untuk penemuan ini adalah tulang kaki bagian bawah, atau tarsus, yang mengungkapkan burung ini adalah pemakan bangkai, bukan elang biasa.
Baca Juga: Mengapa Burung Bangkai Tidak Sakit Perut Setelah Makan Bangkai
Baca Juga: Pemakaman Langit: Jenazah Diumpankan ke Burung agar Ramah Lingkungan
Baca Juga: Dunia Hewan: Bangau Raksasa Terbang di Pulau Manusia Hobbit Indonesia
"Penemuan ini juga mengungkapkan bahwa keragaman burung pemangsa kita jauh lebih besar di masa lalu. Lebih penting lagi, kepunahan burung bangkai di Australia memiliki implikasi ekologis yang besar," tambah Mather.
"Burung pemakan bangkai memainkan peran yang sangat penting dalam ekosistem dengan mempercepat konsumsi bangkai dan mengurangi penyebaran penyakit."
Menurutnya, hilangnya Cryptogyps bisa menyebabkan pergolakan drastis dalam fungsi ekosistem untuk waktu yang sangat lama. Karena spesies lain berebut untuk mengisi ceruknya.
Tulang pertama Cryptogyps lacertosus, sebuah fragmen tulang sayap, ditemukan di dekat Kalamurina Homestead di Sungai Warburton di Australia Selatan pada tahun 1901.
De Vis percaya itu adalah kerabat elang ekor baji yang telah punah. Baru pada akhir abad ke-20 para ahli paleontologi Australia mulai curiga bahwa bahan fosil ini mungkin milik burung pemakan bangkai, bukan elang.
Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo
Source | : | Zootaxa,Flinders University News |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR