Nationalgeographic.co.id—Pada 14 Januari 1822 sebuah kapal bernama Tek Sing atau Bintang Sejati tenggelam di perairan Selat Gaspar, Kepulauan Bangka Belitung. Kapal ini tenggelam setelah menabrak batu karang saat berlayar dari Amoy (Xiamen), Hookian, menuju Batavia.
Tek Sing merupakan sebuah jung Cina berukuran besar. Panjangnya sekitar 50 meter dan lebarnya mencapai 10 meter. Layarnya mencapai tinggi 9 kaki. Kapal ini berbobot sekitar 1.000 ton.
Tek Sing mengangkut sekitar 2.000 imigran Tiongkok dan ribuan keramik. 180 awak kapal berhasil diselamatkan oleh kapal Inggris yang sedang melintas. Sisanya, tewas tenggelam bersama seluruh muatan kapal. Begitu besarnya korban jiwa, kapal karam itu kemudian disebut sebagai "Titanic of the East."
Tek Sing juga membawa sekitar 350.000 buah keramik atau porselen biru dan putih Tiongkok yang ikut karam. Bentuknya berupa cepuk, piring, mangkuk, sendok, dan botol. Selain itu, ditemukan pula meriam, barang-barang kuningan dan perunggu, jam saku, wadah tinta, dudukan lilin, pisau lipat, pedupaan atau mata sang.
Tek Sing dan harta karunya tetap berada di bawah perairan Selat Gaspar hingga tahun 1999. Penemuan bangkai kapal Tek Sing ini baru terjadi pada tahun 199. Bangkai kapal ini ditemukan di kedalaman 100 meter oleh seorang penyelam dan pemburu harta karun asal Inggris bernama Michael Hatcher.
Sayangnya, sebagian besar porselen itu telah dilelang di seluruh dunia. Padahal, muatan dari kapal Tek Sing ini telah dilindungi oleh hukum kekayaan budaya Indonesia.
Banyak keramik dari ekspedisi penyelamatan awal muatan kapal tersebut kemudian disita oleh Pemerintah Australia dan telah dikembalikan kepada Indonesia pada tahun 2001. Tahun ini—tepat 200 tahun setelah kapal itu tenggelam—pemerintah Australia mengembalikan lebih banyak lagi.
Tepat pada peringatan Hari Ulang Tahun ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2022, Pemerintah Australia mengembalikan 333 keramik lagi dari Tek Sing kepada Pemerintah Indonesia.
Benda-benda terbaru ini –yang diambil dalam penyelaman berikutnya—ditemukan dengan bantuan Polisi Federal Australia di Perth. Penemuan dan penyiataan ini merupakan hasil dari penyelidikan setelah benda-benda tersebut diiklankan untuk dijual secara online.
Pengembalian harta karun atau benda budaya bersejarah—Indonesia menyebutnya sebagai cagar budaya bawah air—ini dilakukan di bawah Undang-Undang Perlindungan Warisan Budaya Bergerak Australia. Peraturan ini mendukung pengembalian kekayaan budaya asing setelah diekspor secara ilegal dan diimpor ke Australia.
Baca Juga: Nasib Kapal-Kapal Kuno yang Tenggelam di Jalur Rempah Nusantara
Baca Juga: Upaya Para Arkeolog Menjaga Kelestarian Cagar Budaya Indonesia
Baca Juga: Kisah Tragis Tenggelamnya Kapal Batavia: Gerbang Kastel nan Tak Sampai
Baca Juga: Merapah Rempah: Cerita Bahtera-bahtera Kuno di Dasar Samudra Kita
Menteri Kebudayaan Australia, Tony Burke, mengatakan penyerahan ini merupakan bagian dari komitmen Pemerintah Australia untuk melindungi dan menjaga warisan budaya bergerak dunia.
"Mengembalikan barang-barang ini ke Indonesia—yaitu tempat asalnya—adalah memperbaiki hal yang salah," ujar Burke seperti dikutip dari keterangan tertulis Kedutaan Besar Australia.
"Barang-barang ini seharusnya tidak pernah keluar dari Indonesia dan ditawarkan untuk dijual. Barang ini milik otoritas budaya Indonesia sehingga dapat dilestarikan dengan baik."
"Pemerintah Australia memiliki pandangan tegas terhadap pengembalian warisan budaya yang dicuri. Di mana itu dilakukan pada warga Australia, kami ingin benda-benda itu untuk dikembalikan. Dan saat Australia menyimpan benda-benda yang seharusnya tidak kami miliki, kami ingin membantu mengembalikannya."
"Dengan mengembalikan barang-barang ini ke Indonesia, kami juga menghormati mereka yang meninggal dalam bencana ini."
Pemerintah Australia berterima kasih kepada semua pihak dan lembaga berwenang—baik di Australia maupun Indonesia—yang terlibat dalam pengembalian barang-barang ini. Upacara serah terima secara resmi berlangsung di KBRI Canberra pada Rabu, 17 Agustus 2022, menandai 77 tahun Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Shinatria Adhityatama, arkeolog maritim di Griffith University, mengatakan perairan Indonesia memiliki sebaran situs kapal kuno yang karam. Sayangnya, "justru situs-situs kapal di sekitar kepulauan rempah belum banyak dieksplorasi," imbuhnya, "padahal itu sentralnya."
Dia menambahkan bahwa untuk mempelajari Jalur Rempah dalam perspektif maritim, kita "perlu mempelajari situs-situ kapal karam karena itu adalah bukti langsung dari aktivitas perniagaaan maritim."
Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR