Nationalgeographic.co.id—Fenomena bajak laut di perairan timur Sumatra bukan hal baru. Mereka sudah ada lama menjadi masalah kerajaan-kesultanan dan pemerintah kolonial. Mereka bekerja meneror kapal-kapal perdagangan di perairan penting, seperti di Selat Malaka, Selat Bangka, dan Selat Belitung.
Semasa Sriwijaya berkuasa di barat daya Asia Tenggara, bajak laut diatur. Hal ini membuat pedagang muslim bisa masuk ke Nusantara dari Aceh, Selat Malaka, dan negeri-negeri Melayu lainnya.
Kontrol Sriwijaya pada mereka sangat penting, terutama untuk menjaga keamanan laut dan membuat perdagangan bisa masuk ke ibukotanya. Otomatis, Sriwijaya punya kontrol besar dalam lalu lintas transportasi laut yang menghubungkan dari arah India ke Cina di abad ketujuh hingga abad ke-11.
Akan tetapi kontrol itu hilang saat Sriwijaya jatuh. Tidak ada catatan pasti bagaimana kebijakan bahari bekas kekuasaan Sriwijaya saat jadi vasal Majapahit di abad-abad berikutnya. Yang jelas, bajak laut jadi semakin menggila dan berkuasa di laut.
Periode pun berganti, dari kerajaan Hindu-Buddha di Sumatra menjadi kesultanan Islam. Penguasa-penguasa setempat berpindah jadi mualaf atau dilengserkan penguasa kerajaan muslim lainnya.
Singkatnya, Palembang yang pernah menjadi jajahan Majapahit menjadi tempat orang-orang Kesultanan Demak melarikan diri saat ada konflik. Raja Ki Mas Hindi (1659-1701) kemudian memutus hubungan Palembang dengan di Pulau Jawa, sehingga membentuk kesultanan baru. Kesultanan Palembang sendiri melingkup Sumatra Selatan, Bangka dan Belitung.
Pada akhirnya, kesultanan ini harus berhadapan dengan masalah lama yang sebenarnya bisa ditangani Sriwijaya, bajak laut. Banyak bajak laut yang beroperasi di perairan timur Sumatra Selatan, tinggal secara nomaden di atas kapal, dan singgah di perairan dangkal atau pesisir dengan waktu singkat.
Di Bangka Belitung, mereka disebut sebagai lanun yang mengganggu kapal dagang dan nelayan. Tidak tanggung-tanggung, kegiatan para pembajak laut ini juga ada di perairan air tawar, misalnya Sungai Musi di Sumatra Selatan.
Fithrorozi dari budayawan Belitung mengatakan, Lanun sebenarnya adalah suku Iranun yang asalnya dari Filipina Selatan. Mereka dikenal sebagai bajak laut di Asia Tenggara sejak abad ke-18. Sejatinya, tidak semua orang suku Lanun adalah bajak laut, hanya saja stereotip yang digaungkan oleh kolonial Belanda.
"Sehingga muncul banyak folklor yang menjadikan Lanun sebagai tokoh antagonis," terangnya. "Meskipun jika dirunut toponimi, pulau kecil menujukan Lanun, tidak sepenuhnya bajak laut. Dari Filipina Selatan mereka ke Belitung. Bisa jadi Belitung sudah lama menjadi melting point bagi pengarung samudra."
Sementara di Sungai Musi dan Selat Bangka, bajak laut disebut sebagai Elanong yang akar istilahnya sama dengan Lanun. Endang Rochmiatun, peneliti sejarah UIN Raden Fatah Palembang dalam makalah berjudul Orang Laut, Bajak Laut, dan Raja Laut: Dinamika Kehidupan dan Kekuasaan dalam Naskah Kontrak Sultan-sultan Palembang Abad 18-19.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR