Nationalgeographic.co.id—Saat ini dunia sedang bertransisi menuju penerapan solusi energi hijau dan kendaraan listrik. Seiring dengan transisi ini, baterai yang digunakan untuk teknologi tersebut juga harus ramah lingkungan.
Sayangnya, bahan kimia yang digunakan dalam baterai konvensional seperti lithium-ion membutuhkan waktu ratusan atau bahkan ribuan tahun untuk terurai. Bahan kimia ini juga sering korosif dan mudah terbakar.
Dalam beberapa kasus, baterai gadget konsumen terbakar di pesawat terbang. Ada juga baterai yang menyebabkan kebakaran di lokasi limbah dan daur ulang.
Para peneliti di Maryland, Amerika Serikat, telah mengembangkan baterai yang lebih ramah lingkungan dan lebih berkelanjutan. Mereka menggunakan produk yang berasal dari cangkang krustasea untuk menyimpan energi.
Hewan-hewan krustasea seperti kepiting, udang, dan lobster memiliki eksoskeleton yang terbuat dari sel-sel yang mengandung kitin. Ini adalah sejenis polisakarida yang membuat cangkangnya keras dan tahan.
Material berharga ini berlimpah di alam dan juga dapat ditemukan pada jamur dan serangga, tetapi biasanya dibuang sebagai limbah makanan dari restoran dan produk sampingan dari industri makanan. Para ilmuwan telah lama meneliti berbagai aplikasinya—dalam teknik biomedis, misalnya, untuk pembalut luka serta perawatan anti-inflamasi—dan sekarang, teknik elektro.
Melalui pemrosesan kimia dan penambahan larutan asam asetat, kitin pada akhirnya dapat disintesis menjadi membran gel yang kuat dan digunakan sebagai elektrolit untuk baterai. Elektrolit adalah cairan, pasta, atau gel di dalam baterai yang membantu ion –molekul bermuatan– bergerak antara satu ujung dan ujung lainnya dari baterai, memungkinkannya untuk menyimpan energi.
Dengan menggabungkan elektrolit kitosan ini dengan seng, logam alami yang semakin banyak digunakan untuk membuat baterai yang murah dan aman, tim peneliti kemudian mampu membuat baterai terbarukan.
Baterai ini hemat energi 99,7% bahkan setelah 1.000 siklus baterai, yaitu sekitar 400 jam. Artinya, baterai ini dapat dengan cepat diisi dan dikosongkan tanpa mempengaruhi kinerjanya secara signifikan.
"Bukan hal yang mudah bagi baterai untuk beroperasi pada kerapatan arus tinggi. Performa yang ditampilkan menunjukkan keunggulan bahan berbasis kitosan dalam karya ini," kata Liangbing Hu, direktur Center for Materials Innovation di University of Maryland yang menjadi peneliti utama dalam studi ini, seperti diwartakan The Guardian.
Baca Juga: Laut Bisa Sediakan Bahan Baku Baterai dalam Jumlah Hampir Tak Terbatas
Baca Juga: Ragam Manfaat Kitosan: dari Produk Kecantikan hingga Pengawet Buah
Baca Juga: Artefak Cangkang Siput di Kepulauan Mariana adalah Umpan Gurita Tertua
Makalah studi ini baru saja dipublikasikan di jurnal Matter pada 1 September 2022. Dalam makalah ini para peneliti memaparkan bahwa baterai dari cangkang krustasea ini tidak mudah terbakar dan dua pertiga baterai yang terbuat dari kitosan dapat rusak di tanah berkat degradasi mikroba hanya dalam waktu lima bulan sehingga hanya menyisakan seng yang dapat didaur ulang.
Baterai ini mendapat pujian dari peneliti lain. Antonio J Fernández Romero, seorang profesor ilmu material untuk produksi energi di University of Cartagena di Spanyol yang tidak terlibat dalam penelitian ini, mengatakan ini adalah "sifat yang luar biasa".
Romero menyatakan, "Desain baterai baru yang menghormati lingkungan, murah dan menghasilkan kapasitas debit tinggi, adalah salah satu item yang lebih penting yang harus dikembangkan di tahun-tahun mendatang."
Dia menambahkan bahwa biodegradabilitas adalah kuncinya. Menurutnya, pada tingkat ini sistem itu tampaknya bekerja dengan sangat baik tetapi harus diuji pada skala yang lebih besar dan dalam kondisi penggunaan komersial.
"Kami pikir baik biodegradabilitas material, atau dampak lingkungan, dan kinerja baterai ini penting untuk suatu produk, sehingga berpotensi untuk dikomersialkan,” ujar Liangbing Hu penuh harap.
Simak #SayaPilihBumiFestival yang akan digelar pada Oktober mendatang di sini. Festival ini bakal kembali mengangkat isu-isu lingkungan lewat media dan perbincangan yang lebih ringan, santai, dan menyenangkan. Dari gelar wicara, peran komunitas dalam pelestarian Bumi, sampai konser musik.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Source | : | The Guardian |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR