Nationalgeographic.co.id—Kawasan Geopark Maros Pangkep akhirnya resmi masuk sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark (UGG). Ada puluhan geopark di Indonesia dan Geopark Maros Pangkep di Sulawesi Selatan kini menjadi salah satu dari tujuh geopark di Indonesia yang telah diakui sebagai kawasan geopark dunia.
Enam geopark lainnya yang sudah masuk sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark adalah Geopark Batur, Geopark Pegunungan Sewu, Geopark Ciletuh, Geopark Gunung Rinjani, Geopark Danau Toba, dan Geopark Belitong. Penentuan masuknya kawasan Geopark Maros Pangkep dalam UGG digelar dalam rapat Dewan Council UNESCO Global Geopark di Thailand pada Selasa (6/9/2022).
General Manager Badan Pengelola Geopark Maros Pangkep Dedy Irfan yang mengikuti langsung rapat UNESCO ini mengatakan, dalam rapat Dewan Council UGG, diputuskan untuk menerima aplikasi pengajuan Geopark Maros Pangkep sebagai UNESCO Global Geopark.
"Syukur alhamdulilalh apa yang kita cita-citakan baik pemerintah maupun masyarakat Maros dan Pangkep selama ini akhirnya terwujud. Ini berkat kerja keras seluruh pihak," ujar Dedy seperti dikutip dari laman resmi Pemerintah Kabupaten Pangkajan dan Kepulauan (Pangkep).
Dedy mengatakan, dalam sidang ini pengajuan aplikasi telah diterima tapi belum diumumkan. “Sudah diterima tapi pengumuman resminya belum dan nanti akan ada jadwalnya,” jelasnya.
Sementara itu, Wakil Bupati Maros Suhartina Bohari yang menjadi ketua Pokja kedatangan asesor UGG mengungkapkan kebahagiaannya atas masuknya Maros Pangkep dalam kawasan UGG. Meski begitu, Suhartina tidak ingin berlarut-larut dalam euforia kesenangan. Menurutnya, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan setelah pengumuman ini.
"Setelah tim kembali dari Thailand kami akan segera melakukan rapat koordinasi untuk langkah-langkah selanjutnya. Karena kemarin saat kunjungan asesor ada 9 rekomendasi yang diberikan dan itu akan kita tindak lanjuti, termasuk pembenahan-pembenahan. Karena jika kita tidak dijaga dan tidak memenuhi standar kualifikasi, pengakuan ini bisa saja dicabut oleh Unesco," bebernya.
Suhartina optimistis pengakuan ini akan menarik perhatian banyak orang. Dia menyebut, dengan masuknya Maros Pangkep dalam UGG, maka kawasan Geopark Maros Pangkep telah menjadi tujuan wisata dunia.
"Karena kelasnya UNESCO, maka sudah masuk kelas dunia. Artinya perhatian terhadap kawasan ini akan lebih besar, baik pariwisatanya, pemberdayaan masyarakatnya yang bermuara pada ekonomi masyarakatnya," jelasnya.
Bupati Maros AS Chaidir Syam juga mengaku sangat bersyukur dengan capaian ini. "Kami sangat bersyukur dan alhamdulillah mendapatkan info langsung dari Thailand. Sebuah kebahagiaan kawasan Geopark Maros-Pangkep ini akhirnya ditetapkan sebagai kawasan dunia. Ini artinya perjuangan masyarakat dan seluruh stakeholder yang selama ini menjaga, merawat, dan melestarikan kawasan geopark tersebut mendapatkan apresiasi dunia," ujarnya.
Chaidir juga menambahkan bahwa pengakuan ini menjadi tantangan ke depannya agar kawasan ini tetap terjaga dan terpelihara sebagai kawasan wisata dunia. "Ini tantangan kita dan ini sudah kewajiban pemerintah bersama masyarakat untuk merawat dan menjaganya," tegasnya.
National Geographic Indonesia pernah menulis beberapa artikel mengenai keistimewaan kawasan Geopark Maros Pangkep. Kawasan ini terkenal dengan "tower karst"-nya, berupa tebing batu kapur yang menantang dan bukit nan menjulang.
Karst yang di dalamnya mengalir sungai-sungai bawah tanah sepanjang puluhan kilometer ini menjadi tempat bergantung bagi banyak orang. Di kaki-kaki tebing, banyak muncul mata air yang digunakan sebagi sumber air bersih, air yang tidak pernah kering meskipun kemarau datang.
Karst Maros tidak hanya tentang pemandangan dan bentang alam dengan gua-guanya yang spektakuler, tetapi juga tentang tempat hidup berbagai jenis hewan, khususnya hewan-hewan gua yang tidak banyak dikenal orang. Banyak spesies baru yang belum dikenal sains yang ditemukan di wilayah ini. Kawasan ini adalah tempat yang istimewa karena menjadi rumah bagi beberapa spesies endemik yang langka.
National Georaphic Indonesia juga pernah menulis bahwa gambar atau lukisan figuratif perburuan tertua pernah ditemukan di Situs Leang Bulu' Sipong 4. Situs ini merupakan satu dari ratusan gua di wilayah karst Maros-Pangkep.
Lukisan yang ditemukan di gua Maros-Pangkep tersebut menggambarkan adegan sekelompok figur setengah manusia dan setengah hewan (therianthropes) yang sedang berburu hewan mamalia besar dengan tombak maupun tali. Hasil pengukuran peluruhan radio aktif dari uranium dan elemen lainnya dari pembentukan mineral yang terjadi di Leang Bulu’ Sipong 4 mengungkapkan bahwa lukisan tersebut diperkirakan berusia antara 35.100 sampai 43.900 tahun yang lalu. Hal ini menjadikannya menjadi lukisan figuratif perburuan tertua di dunia.
Baca Juga: Merebut Status UNESCO Global Geopark Bagi Pulau Belitung Melalui Kayak
Baca Juga: Melintasi Tanjung Kelayang Demi Meraih Predikat Unesco Global Geopark
Baca Juga: Sudah Saatnya, Danau Poso Dijadikan Taman Bumi Berkelanjutan
Penemuan ini menegaskan bahwa komponen utama dari budaya artistik yang sangat maju telah hadir di Sulawesi sekitar 44 ribu tahun yang lalu, termasuk seni figuratif, adegan kejadian, dan therianthropes. Lebih lanjut, penggambaran figur pemburu dalam bentuk therianthropes merupakan bukti tertua bagi kemampuan manusia untuk mengimajinasikan keberadaan supernatural yang merupakan titik permulaan pengalaman terhadap kepercayaan rohani.
Therianthropes sendiri sering ada di dalam cerita rakyat atau cerita fiksi pada masyarakat modern di semua tempat dan digambarkan sebagai Tuhan, roh, maupun perwujudan leluhur di semua agama di dunia. Kawasan Geopark Maros Pangkep saat ini menjadi rumah bagi penggambaran tertua tentang therianthropes, dan lebih tua dari manusia singa yang ditemukan di Jerman pada sekitar 40 ribu tahun silam.
Dengan kata lain, manusia di Maros Pangkep telah menciptakan sebuah karya seni yang mengekspresikan pemikiran spiritual tentang ikatan khusus antara manusia dan hewan jauh sebelum seni serupa ditemukan di Eropa, yang selama ini diasumsikan sebagai akar dari kebudayaan keagamaan modern.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR