Nationalgeographic.co.id—Tahun-tahun yang riuh dengan pertumpahan darah, pernah terjadi dalam kurun sejarah nasional Indonesia. Kekejaman dan kebengisan manusia berwatak radikal telah membunuh sejumlah manusia lainnya yang tak berdosa.
Sebut saja kisah bupati Tegal yang pernah jadi incaran sejumlah kaum radikal berdalihkan revolusi. Sekelompok sadis yang memburon sejumlah target untuk dibunuh dan disembelih karena motif tertentu.
Dialah Soenarjo (Sunaryo), seorang bupati Tegal yang jadi incaran kaum revolusionaris-radikal, orang-orang Komunis PKI. Orang-orang Komunis melancarkan aksi penyergapan dan pembunuhan di banyak kawasan di Tegal.
Soenarjo diketahui sebagai menantu dari Raden Adjeng Kardinah (adik kandung Raden Adjeng Kartini). Ia menjadi buruan orang-orang PKI yang bengis terhadapnya.
PKI memandang bupati adalah simbol feodalisme atau pemegang tampuk yang berkuasa di Tegal. Hal inilah yang melandasi orang-orang PKI untuk mengincar dan membunuh Soenarjo. Dengan begitu, PKI dengan mudah berkuasa di Tegal.
Hal itu digambarkan dalam Anab Afifi dan Thowaf Zuharon dalam buku Ayat-ayat yang Disembelih (2015). Ketika Soenarjo tengah diincar untuk dijadikan target pembunuhan, kala itu RA Kardinah sedang berada di Tegal, di kediaman anak dan mantunya.
Usianya waktu itu sudah 64 tahun. Adik RA Kartini itu menyaksikan segerombolan remaja tak dikenal menyergap masuk ke rumah mantunya. 13 Oktober 1945, segerombolan itu masuk ke ruang tamu hingga hampir ke penjuru ruang untuk mengobrak-abrik rumahnya.
Soenarjo yang kala itu sedang tak di rumah terus dicari, sembari para gerombolan itu mengacak-acak rumahnya. Seragam kebesaran bupati Tegal yang mereka temui, dirobek-robek karena bagi mereka merupakan simbol feodalisme.
Geram dengan kenyataan bahwa komplotan PKI itu tak menemukan buruan, Kardinah yang ada di dalam rumah tersebut menjadi sasaran. Kemarahan PKI dilampiaskan "kepada ibu angkat Sunaryo bernama Raden Ajeng Kardinah (adik kandung R.A.Kartini)," imbuhnya.
Tak hanya Kardinah, cucu perempuan dan pembantu Soenarjo juga turut ditangkap. Semua pakaian mereka dilucuti oleh PKI yang tengah murka, kemudian digantikan dengan pakaian dari goni.
Entah apa salah dan dosa, kisah tragis menimpa mereka. PKI dengan kejamnya menjadikan adik kandung Kardinah beserta cucu dan pembantunya sebagai bulan-bulanan massa.
Baca Juga: Gerakan Perlawanan Haji Misbach: Islam Merah dan Komunis Hijau
Baca Juga: Masa Kecil Dipa Nusantara Aidit dan Pertemanan dengan Buruh Tambang
Baca Juga: Misteri Hilangnya Lukisan Karya Kartini Saat Pusaran Geger 1965
Setelah dipakaikan goni ke tubuh mereka, mereka "lalu diarak keliling Kota, agar jadi tontonan dan bahan olok-olokan massa," lanjut Anad dan Thowaf dalam bukunya. Kardinah yang telah renta lantas berpura-pura sakit.
Ketika arak-arakan itu dilakukan di sepanjang jalanan kota, tiba-tiba massa menghentikannya karena Kardinah mengeluh kesakitan. Arak-arakan berhenti tepat di depan rumah sakit. Menariknya, rumah sakit itu didirikan oleh Kardinah sendiri beberapa dekade silam, RS Kardinah.
Akibat kejadian itu, Kardinah mengalami pukulan dan trauma terhadap tindak PKI yang telah mempermalukannya. Namun beruntungnya, RA Kardinah tak dijadikan korban penyiksaan dan pembunuhan PKI.
Selepasnya, ia meninggalkan Tegal dalam upaya melupakan kisah traumatik yang menimpanya di sana. Ia menghabiskan masa tuanya di Salatiga dan meninggal dunia pada 5 Juli 1971 di usianya ke-90.
Source | : | Ayat-ayat yang Disembelih (2015) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR