Nationalgeographic.co.id — Banyak orang salah kaprah mengira bahwa orang-orang Belanda Depok atau Kaoem Depok adalah orang keturunan Belanda atau orang bule. Anggapan ini jelas keliru karena nyatanya orang-orang yang dijuliki sebagai Belanda Depok atau Kaoem Depok ini adalah orang pribumi asli.
Bagaimana awal mula munculnya julukan Belanda Depok dan dari mana asal-usul mereka?
National Geographic Indonesia berbincang dengan Boy Loen, salah satu tokoh keturunan Belanda Depok atau Kaoem Depok. Boy yang kini juga menjabat sebagai Ketua Bidang Sejarah Kepengurusan Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC), mengatakan bahwa asal muasal Kaoem Depok adalah kelompok budak yang dibeli oleh Cornelis Chastelein dari pasar budak di Bali.
"Dan budak-budak yang dibeli itu kebanyakan berasal dari Bali sendiri, Nusa Tenggara Timur (NTT), dari Makassar, dari Sulawesi, bahkan dari Maluku," papar Boy.
"Jadi kami ini sebenarnya adalah pribumi asli," tegas Boy.
"Sebagaimana Anda lihat, saya sendiri kulit saya tidak bule," ucap Boy sambil menunjukkan warna kulit tangannya.
Cornelis Chastelein, yang namanya disebut Boy, adalah orang Belanda yang sempat menjadi pejabat kongsi dagang Hindia Belanda (VOC). Pada akhir abad ke-17 dia mengundurkan diri dari VOC dan beralih menjadi tuan tanah di sekitar Batavia.
Chastelein membeli banyak lahan tanah, termasuk di daerah Depok. Budak-budak yang ia beli dari Bali, ia pekerjakan untuk menggarap lahan pertanian dan perkebunan di Depok.
Kelak, ketika meninggal, Chastelein memerdekakan semua budaknya tersebut dan memberi semua lahan tanahnya yang ada di Depok untuk mereka lewat surat wasiat yang telah ia tulis sebelumnya. Para mantan budak beserta keturunan mereka yang menghuni dan menggarap tanah di Depok inilah yang kemudian dikenal sebagai Kaoem Depok.
Baca Juga: 'Baboe' Layaknya Ibu Peri bagi Anak-anak Eropa di Hindia Belanda
Baca Juga: Mengapa Belanda Mencegah Bahasanya Menjadi Bahasa Internasional
Baca Juga: Rijkmuseum Ungkap Kebrutalan Perbudakan Belanda di Tanah Koloni
Bagi Kaoem Depok, Chastelein dianggap sebagai orang Belanda yang sebenarnya anti-perbudakan karena tak sesuai dengan ajaran Injil. Sebagai orang Nasrani yang taat pada agama, Chastelein juga disebut-sebut mengajarkan baca-tulis dan isi Alkitab kepada budak-budaknya.
"Yang unik, Kaoem Depok pada saat itu menikmati pendidikan berbahasa Belanda," kata Boy. "Oleh karena itu Kaoem Depok sangat fasih berbahasa Belanda."
Karena bisa baca-tulis dan fasih berbahasa Belanda, banyak keturunan dari Kaoem Depok yang kemudian mendapatkan pekerjaan di Batavia atau kini disebut Jakarta. "Kita tahu Batavia pada saat itu menjadi sentra pemerintahan dan sentra perdagangan," ucap Boy.
Orang-orang dari Kaoem Depok ini biasanya menggunakan moda transportasi kereta api untuk bisa sampai ke Batavia. "Dalam perjalanan ke tempat kerja, kereta api kan berangkat dari Buitenzorg atau Bogor, nah berhenti cuma di Depok, di tengah-tengah, kemudian langsung ke Jakarta," tutur Boy.
Saat kereta berhenti di Depok, para penumpang dari Bogor yang sudah berada di kereta kerap meneriaki Kaoem Depok. "Mereka umumnya berteriak, 'Kita sudah berada di Amsterdam, Belanda Depok naik!'" papar Boy.
Begitu pula saat kereta dari Batavia atau Jakarta menuju Bogor berhenti di Depok, orang-orang di kereta juga berteriak, "Kita sudah tiba di Amsterdam. Belanda Depok turun! Belanda Depok turun!"
"Mengapa disebut Belanda Depok? Karena mereka yang kulitnya seperti saya ini, bukan bule, tapi fasih berbahasa Belanda," jelas Boy sembari menunjukkan warna kulit tangannya lagi yang berwarna sawo matang seperti warna kulit orang Indonesia pada umumnya.
Yang memberi julukan Belanda Depok untuk orang-orang pribumi di Depok itu adalah orang-orang pribumi juga. Dari kejadian sehari-hari itulah kemudian berkembang sebutan Belanda Depok untuk kaum pribumi di Depok yang fasih berbahasa Belanda.
Jadi, yang disebut Belanda Depok adalah orang-orang pribumi yang tinggal di Depok. Mereka adalah keturunan dari para mantan budak Cornelis Chastelein yang fasih berbahasa Belanda.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR