Nationalgeographic.co.id—Pecahnya Perang Dunia I, sebagian besar pria di Inggris Raya dikirim dan dipersiapkan ke medan perang. Mereka harus meninggalkan kehidupan mereka dengan tanpa jaminan bisa kembali lagi.
Mereka tidak hanya meninggalkan jabatan mereka di pabrik-pabrik yang menjadi sandaran ekonomi bagi keluarganya dan Kerajaan Inggris, tetapi juga meninggalkan istri dan anak-anak mereka tanpa makanan.
"Perang ini tidak terduga," tulis Andrei Tapalaga kepada History of Yesterday dalam artikel berjudul "The Strong Canary Girls Who Worked to Death During WW1: The lifeline of the British Army" yang terbit pada 17 November 2022.
Kondisi itu menciptakan permintaan besar akan senjata dan amunisi. Setelah perang berlangsung selama sekitar satu tahun dan tentara Sekutu memahami dimensi aslinya, permintaan tugas berat yang sebenarnya datang.
Sebagian besar pabrik otomatis di Inggris diubah menjadi pabrik perang (pabrik yang digunakan untuk memproduksi perlengkapan perang seperti senjata, amunisi , seragam, dan lain-lain).
Dengan hampir 10 juta pria di atas usia 18 tahun telah dikirim ke medan perang, hanya ada satu sumber daya manusia yang tersisa untuk dikerahkan, menggunakan jasa mereka untuk memasok perang ini.
"Wanita pada saat itu tidak terlalu dipekerjakan dalam industri dengan tugas berat, karena kesetaraan gender masih menjadi topik yang tabu saat itu," imbuhnya. Banyak sejarawan berpendapat bahwa kebutuhan mendesak perempuan untuk bekerja di pabrik perang, mendorong gerakan persamaan hak perempuan pada tahun 1928.
Dengan tidak adanya pilihan lain, para wanita harus bekerja keras karena itulah satu-satunya cara mereka dapat mendukung pria mereka di garis depan, serta memberi makan anak-anak mereka.
Namun, dalam keseluruhan cerita ini, ada pekerjaan wanita yang cukup spesifik yang selain bekerja untuk keluarganya, mereka juga memikul tugas berat. Wanita-wanita ini mempertaruhkan nyawa mereka dengan memproduksi amunisi untuk perang, yang dikenal sebagai peluru howitzer.
Amunisi ini diciptakan dalam berbagai ukuran tergantung pada kaliber yang dibutuhkan, tetapi semuanya diisi dengan bahan peledak yang sama, Trinitrotoluena (umumnya dikenal sebagai TNT).
Paparan radiasi terus-menerus dari bahan peledak beracun ini mengubah kulit para pekerja menjadi warna oranye terang, inilah mengapa para wanita itu dijuluki dengan sebutan "Canary Girls".
Baca Juga: Kisah Pilu Para Gadis Korek Api yang Rahangnya Busuk karena Uap Fosfor
Source | : | History of Yesterday |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR