Nationalgeographic.co.id—Madagaskar, sebuah pulau di Samudra Hindia bagian barat, menyimpan keanekaragaman hayati yang unik hari ini. Pulau yang berada 400 kilometer dari lepas pantai Afrika bagian timur itu adalah salah satu dataran besar terakhir yang dikoloni manusia.
Pulau Madagaskar bagaikan dunia lain. Namun sebenarnya, keanekaragaman hayati di masa lalu jauh lebih unik dari hari ini. Sebagian besar hewan-hewan uniknya telah hilang, seperti lemur raksasa, burung gajah, kura-kura, dan kuda nil. Ternyata, pelaku dari punahnya hewan-hewan eksotis itu berhubungan dengan ekspansi besar pertama manusia ke pulau itu sekitar 1.000 tahun silam.
Hal itu dituturkan dalam penelitian di Current Biology 4 November 2022. Studi itu berjudul "The loss of biodiversity in Madagascar is contemporaneous with major demographic events" mengungkap penyebabnya lewat penelitian genetika manusia di sana.
Penduduk di Madagaskar terbagi dua kelompok. Mayoritas dari mereka adalah penduduk yang bisa berbahasa serumpun Austronesia, seperti Melayu. Meski jaraknya jauh dari Kepulauan Nusantara, mereka sebenarnya adalah keturunan dari suku Banjar di Kalimantan, Indonesia. Sementara kelompok masyarakat lainnya berbahasa rumpun Bantu dari Afrika.
"Ekspansi demografi manusia ini bersamaan dengan transisi budaya dan ekologi di pulau itu," ungkap salah satu peneliti Denis Pierron dari French National Centre for Scientific Research (CNRS), dikutip dari Eurekalert. "Sekitar periode yang sama, kota-kota bermunculan di Madagaskar, dan semua vertebrata seberat lebih dari 10 kilogram menghilang."
Mengurai sejarah genetika manusia dan keanekaragaman hayati Madagaskar bukanlah pekerjaan waktu singkat. Para peneliti lintas disiplin selama 10 tahun mengunjungi lebih dari 250 desa di seluruh Madagaskar untuk mengungkap keragaman budaya, dan genetika manusia.
Pierron dan timnya mengamati bukti genetik manusia. Fokusnya adalah mempelajari bagaimana berbagai bagian kromosom manusia dibagikan bersama dengan informasi keturunan lokal. Kemudian, data genetikanya disimulasikan oleh komputer untuk mengetahui asal-usul orang Madagaskar.
Temuan dari simulasi ini membuat kita tahu bahwa ada dua kelompok kuno yang bercampur di Madagaskar. Selain itu, tentunya memahami bagaimana perubahan populasi manusia di masa lalu bisa menyebabkan perubahan di seluruh ekosistem pulau ini.
Berdasarkan simulasi itulah, mereka menyimpulkan bahwa nenek moyang populasi Madagaskar keturunan Asia, terisolasi di pulau itu selama 1.000 tahun. Populasi mereka yang ada di sana hanya ada beberapa ratus individu saja.
Baca Juga: Tiga Sisa Jasad di Pulau Alor Ungkap Migrasi Terawal Manusia Indonesia
Baca Juga: Ketika Hendak Keluar Afrika, Rute Migrasi Manusia Lebih Kompleks
Baca Juga: Perjalanan Migrasi Manusia dan Sekaratnya Bahasa Daerah di Nusantara
Setelah terisolasi 1.000 tahun, gelombang penutur bahasa Bantu datang dari Afrika timur ke Madagaskar. Semenjak itu, populasi manusia di pulau itu berkembang pesat. Lambat laun, populasi manusia menyebabkan perubahan lanskap Madagaskar yang luas, dan hilangnya semua vertebrata bertubuh besar yang pernah hidup.
"Studi kami mendukung teori bahwa bukan kedatangan manusia secara langsung di pulau yang menyebabkan hilangnya megafauna, melainkan perubahan gaya hidup yang menyebabkan perluasan populasi manusia dan pengurangan keanekaragaman hayati di Madagaskar," terang Pierron.
Berkat temuan ini, terang para peneliti, membuka pemahaman yang lebih baik terkait sejarah Madagaskar. Akan tetapi, masih ada banyak pertanyaan yang harus diungkap lewat penelitian lain yang akan datang.
“Jika leluhur populasi Asia diisolasi selama lebih dari satu milenium sebelum bercampur dengan populasi Afrika, di manakah populasi ini? Sudahkah [mereka] di Madagaskar atau di Asia? Mengapa populasi Asia mengisolasi diri lebih dari 2.000 tahun yang lalu? Sekitar 1.000 tahun yang lalu, apa yang memicu transisi budaya dan demografi yang diamati?” tanya Pierron untuk menjadi penelitian berikutnya.
Source | : | eurekalert |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR