Data ini kemudian memungkinkan para ilmuwan untuk memetakan fitur vokal, suara, struktur, atau sekadar penanda biologis mana yang berkorelasi dengan penyakit atau penyakit tertentu. Tim di Sonde Health menggunakan enam biomarker yang menilai perubahan kecil dalam nada, infleksi, atau dinamika suara. Tingkat skor tertentu pada perubahan ini berkorelasi dengan tingkat keparahan depresi. Dokter kemudian dapat menggunakan data ini untuk mulai merumuskan rencana perawatan lebih cepat atau membuat rujukan ke layanan lain.
AI dan Depresi Post Partum
Satu bidang yang menarik dari pengejaran AI ini adalah kemungkinan deteksi depresi setelah melahirkan. Saat ini, diperkirakan sekitar 50 persen wanita berjuang dengan baby blues, tetapi 20-30 persen lainnya mengembangkan bentuk depresi yang lebih parah yang mungkin memerlukan pengobatan. Bagi beberapa orang, ini bahkan mungkin berarti mengejar tingkat perawatan yang lebih tinggi, seperti rawat inap, jika gejalanya memengaruhi fungsi.
Spora Health telah menggunakan AI untuk membantu pemutaran yang berfokus pada pemerataan kesehatan. Dalam program serba virtual mereka, saat pasien menelepon dan mulai berbicara dengan dokter, AI Kintsugi mulai mendengarkan dan menganalisis suara tersebut. Setelah sekitar 20 detik mendengarkan, perangkat lunak AI dapat menghasilkan PHQ-9 dan GAD-7 pasien, penilaian skrining yang digunakan dokter untuk menentukan tingkat kecemasan dan depresi. Informasi ini digunakan untuk membuat rencana perawatan yang paling tepat, memberikan layanan rujukan jika diperlukan, mendiskusikan pengobatan jika sesuai, atau terkadang sekadar memantau pasien.
Teknologi canggih AI mungkin lebih akurat dibanding pemeriksaan manusia, tetapi tak dapat dimungkiri muncul kehawatiran privasi dan etika.
Source | : | Psychology Today |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR