Nationalgeographic.co.id—Pada musim dingin tahun 1904–1905, di Beijing, seorang pengawal bernama Fu Zhuli dituduh membunuh tuannya, seorang pangeran Mongol, dengan pisau daging.
Hukuman yang ditetapkan oleh kode Qing untuk menghukum kejahatan yang begitu serius (pembunuhan massal, pembunuhan ayah, pembunuhan ibu, dan lainnya) adalah eksekusi yang dikenal dengan sebutan lingchi.
"Lingchi telah dipraktikkan di Tiongkok sejak zaman Liao. dinasti Tiongkok pada abad kesepuluh," tulis Pablo Maurette kepada The Bueno Aires Review dalam artikel berjudul "The Forgotten Sense (fragment)" yang terbit pada Juli 2015.
Lingchi, umumnya diterjemahkan sebagai "kematian dengan seribu luka", yang terdiri dari prosesi mengikat terpidana ke sebuah tiang, lalu memotong tubuhnya menjadi beberapa bagian.
Eksekusi dimulai pada pagi musim dingin di pasar sayur Beijing pada tahun 1905. Di hadapan kerumunan yang terhenyak, algojo mulai memotong potongan besar daging dari dada, bisep, dan paha Fu Zhuli. Kemudian ia memotong anggota tubuh Fu Zhuli, lalu akhirnya memenggal kepalanya.
Setelah proses eksekusi selesai, algojo mengucapkan deklarasi standar: "Sha ren le" (Orang ini telah dieksekusi). Lingchi sejatinya bukanlah suatu penyiksaan yang tak berkesudahan, biasanya hanya berlangsung beberapa menit saja.
"Biasanya algojo, setelah membuat beberapa luka, menikam jantung orang yang terhukum untuk mengakhiri mimpi buruk itu," tambahnya. Pada dasarnya, kebanyakan sejarawan menggambarkan lingchi dengan melebih-lebihkannya.
Baca Juga: Poena Cullei, Hukuman Mati dengan Karung yang Mengerikan di Era Romawi
Baca Juga: Phryne, Pelacur Yunani Kuno Bebas Hukuman Mati Bermodalkan Telanjang
Baca Juga: Belanda Sudah Meninggalkan Hukuman Mati, Kecuali untuk Hindia Belanda
Sinolog dan sejarawan Eropa pernah menyaksikan eksekusi lingchi secara langsung. Sebut saja salah satunya George Bataille. Mereka memandang kesadisan, tetapi hal tragis itu tidak sengeri yang dituliskan oleh sejarawan yang melakukan hiperbola.
Orang-orang Eropa mengenalnya dengan sebutan "penyiksaan Tiongkok", tujuan dari lingchi sebenarnya bukanlah untuk menimbulkan penderitaan yang tidak manusiawi, melainkan eksekusi mati.
Sayatan yang dilakukan kepada terhukum tidak berjumlah seribu, tetapi hanya beberapa belas hingga puluhan saja. Sebelumnya ditawarkan juga opium dalam jumlah besar kepada tahanan untuk membuatnya setengah sadar hingga tidak begitu menderita.
Dalam konteks eksekusi Fu Zhuli, ia telah diilindungi oleh kekuatan narkotik dan analgesik magis poppy, sehingga ia menjadi mati rasa dari penderitaan. Sebelum algojo melakukan pemotongan pertama, Fu Zhuli sudah tidak lagi bernyawa.
Fu Zhuli bahkan terlihat menjadi tumpukan daging yang meringkung dan siap untuk dipotong-potong. "Fu Zhuli dibius dan diikat ke tiang, seperti mayat di atas meja di teater anatomi: tontonan didaktik," pungkasnya.
Segera setelah eksekusi Fu Zhuli yang diabadikan dan diedarkan di Eropa berkat sebuah buku karya Louis Carpeaux yang mulai mengecam hukuman brutal. Belum lagi buku The Tears of Eros (1989) karya George Bataille yang turut menyebar luaskan momen ini.
Momen eksekusi kejam terhadap Fu Zhuli yang dipotret oleh orang-orang Eropa dan dipublikasikan ke dalam sebuah buku, menarik perhatian dunia. Dari sini, hukuman pidana Tiongkok direvisi dan pihak Tiongkok menghapuskan lingchi setelah eksekusi Fu Zhuli.
Source | : | The Bueno Aires Review |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR