Nationalgeographic.co.id—Sains menunjukkan bahwa bahasa tidak sepenuhnya diperlukan untuk penalaran. Jadi, manusia bisa berpikir tanpa mengucapkan kata-kata dalam kepala. Manusia telah mengekspresikan pikiran dengan bahasa selama puluhan atau mungkin ratusan ribu tahun. Hal itu juga menjadi ciri khas spesies kita. Para ilmuwan juga pernah berspekulasi bahwa kemampuan bahasa adalah perbedaan utama antara manusia dan hewan lain.
Lantas, bagaimana para ilmuwan mempelajari hubungan antara pikiran dan bahasa? Dan mungkinkah berpikir tanpa kata-kata?
Jawabannya, secara mengejutkan, adalah ya. Beberapa dekade penelitian telah ditemukan. Studi Hurlburt, salah satunya, dia telah menunjukkan bahwa beberapa orang tidak memiliki monolog batin - artinya mereka tidak berbicara sendiri di kepala mereka.
Dilansir Live Science, penelitian lain menunjukkan bahwa orang tidak menggunakan wilayah bahasa di otak mereka saat mengerjakan soal logika tanpa kata.
Namun, selama beberapa dekade, para ilmuwan mengira jawabannya adalah tidak - pemikiran cerdas itu terkait dengan kemampuan kita untuk membentuk kalimat.
"Satu klaim yang menonjol adalah bahwa bahasa pada dasarnya muncul untuk memungkinkan kita memikirkan pemikiran yang lebih kompleks," kata Evelina Fedorenko, seorang ahli saraf dan peneliti di MIT's McGovern Institute.
Ide ini diperjuangkan oleh ahli bahasa legendaris seperti Noam Chomsky dan Jerry Fodor pada pertengahan abad ke-20, tetapi mulai tidak disukai dalam beberapa tahun terakhir.
Bukti baru telah mendorong para peneliti untuk mempertimbangkan kembali asumsi lama mereka tentang bagaimana kita berpikir dan peran apa yang dimainkan bahasa dalam proses tersebut.
Pemikiran tanpa simbol adalah jenis proses kognitif yang terjadi tanpa menggunakan kata-kata. Hurlburt dan rekannya menciptakan istilah tersebut pada tahun 2008 di jurnal Consciousness and Cognition, setelah melakukan penelitian puluhan tahun untuk memverifikasi bahwa itu adalah fenomena nyata, kata Hurlburt.
Mempelajari bahasa dan kognisi terkenal sulit, sebagian karena sangat sulit untuk dijelaskan. "Orang menggunakan kata yang sama untuk menggambarkan pengalaman batin yang sangat berbeda," kata Hurlburt. Misalnya, seseorang mungkin menggunakan kata-kata yang mirip untuk menceritakan pemikiran visual tentang parade gajah merah muda seperti yang mereka lakukan untuk mendeskripsikan monolog batin mereka yang non-visual dan berpusat pada gajah merah muda.
Masalah lainnya adalah sulit untuk mengenali pemikiran bebas bahasa sejak awal. "Kebanyakan orang tidak tahu bahwa mereka terlibat dalam pemikiran tanpa simbol," kata Hurlburt, "bahkan orang yang sering terlibat di dalamnya."
Karena orang begitu terperangkap dalam pikiran kita sendiri dan tidak dapat secara langsung mengakses pikiran orang lain, kita mungkin tergoda untuk menganggap bahwa proses berpikir yang berlangsung di dalam kepala kita bersifat universal.
Namun, beberapa laboratorium, seperti milik Fedorenko, sedang mengembangkan cara yang lebih baik untuk mengamati dan mengukur hubungan antara bahasa dan pikiran. Teknologi modern seperti pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI) dan mikroskop memberi peneliti gambaran yang cukup bagus tentang bagian mana dari otak manusia yang sesuai dengan fungsi yang berbeda; misalnya, para ilmuwan sekarang mengetahui bahwa otak kecil mengontrol keseimbangan dan postur tubuh, sedangkan lobus oksipital menangani sebagian besar pemrosesan visual. Dan di dalam lobus yang lebih luas ini, ahli saraf telah mampu memperkirakan dan memetakan wilayah fungsional yang lebih spesifik yang terkait dengan hal-hal seperti memori jangka panjang, penalaran spasial, dan ucapan.
Penelitian Fedorenko memperhitungkan peta otak semacam itu dan menambahkan komponen aktif.
Baca Juga: Ilmuwan Mengidentifikasi DNA Terkait Disleksia Pada Anak-Anak
Baca Juga: Apakah Wanita Benar-Benar Lebih Baik dalam Mengingat Kata-Kata?
Baca Juga: Perubahan Kata Percakapan: Pertanda Berakhirnya Hubungan Percintaan
"Jika bahasa sangat penting untuk penalaran, maka harus ada tumpang tindih dalam sumber daya saraf saat Anda terlibat dalam penalaran," hipotesisnya. Dengan kata lain, jika bahasa sangat penting untuk berpikir, wilayah otak yang terkait dengan pemrosesan bahasa akan menyala setiap kali seseorang menggunakan logika untuk memecahkan masalah.
Untuk menguji klaim ini, dia dan timnya melakukan studi di mana mereka memberi peserta soal logika bebas kata untuk dipecahkan, seperti teka-teki sudoku atau sedikit aljabar. Kemudian, para peneliti memindai otak orang-orang ini menggunakan mesin fMRI saat mereka mengerjakan teka-teki tersebut. Para peneliti menemukan bahwa wilayah otak peserta yang terkait dengan bahasa tidak menyala saat mereka memecahkan masalah; dengan kata lain, mereka bernalar tanpa kata-kata.
Penelitian seperti Fedorenko, Hurlburt dan lain-lain menunjukkan bahwa bahasa tidak penting untuk kognisi manusia, yang merupakan temuan sangat penting untuk memahami kondisi neurologis tertentu, seperti aphasia. "Anda dapat menghilangkan sistem bahasa, dan banyak alasan dapat berjalan dengan baik," kata Fedorenko. Namun, itu tidak berarti bahwa bahasa tidak akan lebih mudah.
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR