Nationalgeographic.co.id—Pada tahun 1955, para pemilih di Jaboatao, sebuah kota industri Brasil, muak dengan pejabat kota mereka. Alhasil, mereka memilih seekor kambing untuk menggantikan pejabat kota selanjutnya.
Barangkali orang-orang Jaboatao telah mengilhami penduduk kota São Paulo. Empat tahun berselang, pada tahun 1959, para pemilih di São Paulo yang muak dengan pemerintah kota mereka, melakukan hal serupa dengan lebih baik.
Mereka mencalonkan satu nama, Cacareco. Menariknya, orang-orang mengetahui bahwa nama yang dicalonkan adalah seekor badak hitam betina. Penduduk São Paulo tengah dibuat jengah tahun itu.
"Korupsi merajalela, sampah tak tertampung, selokan meluap, inflasi melonjak, bahkan persediaan bahan makanan pokok seperti daging dan kacang-kacangan menipis," tulis Khalid Elhassan.
Khalid menulisnya kepada History Collecton dalam sebuah artikel berjudul These Deadly Jokes Were Not Too Funny for their Victims in the End yang diterbitkan pada 30 November 2022.
Saat pemilu menjelang bulan Oktober itu, para pemilih menghadapi pilihan dari 540 kandidat yang bersaing untuk memperebutkan 45 kursi di Dewan Kota São Paulo. Sedikit dari para kandidat yang dapat dipercaya, sedangkan lebih banyak yang korup atau kriminal.
Menghadapi pilihan yang begitu suram, beberapa penduduk memutuskan untuk mencalonkan seekor badak hitam betina berusia lima tahun sebagai kandidatnya. Seperti slogan mereka: "Lebih baik memilih badak daripada keledai."
Cacareco dipinjam dari kebun binatang sohor di São Paulo selama tiga hari. Selebritasnya melejit, seekor badak hitam betina menjadi petarung politik baru yang menggegarkan jagat kala itu.
Ketika pemilihan dilakukan, secara mengejutkan Cacareco mendapatkan suara terbanyak dalam pemilihan tersebut. Ia mendapatkan sekira 200.000 suara dan memenangkan pemilihan umum dewan kota.
Pada hari pemilihan, Cacareco tidak hanya menang, dia naik ke tempat pertama dan menang telak, setelah badak itu berhasil mengumpulkan lebih dari 100.000 suara, atau sekitar 15% dari total suara seutuhnya.
Meskipun terdengar sebagai lelucon, "ia benar-benar memenangkan pemilu," imbuhnya. Yang terjadi kemudian adalah kegelisahan dan kekhawatiran dari segenap kalangan intelektual dan pengamat politik di Brasil.
Source | : | History Collection |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR