Nationalgeographic.co.id—Sejak negara-negara dunia sepakat untuk menjaga suhu dunia dua derajat Celsius di atas tingkat praindustri, usaha dekarbonisasi digencarkan. Kesepakatan dekarbonisasi dan mengurangi dampak krisis iklim, terus dibicarakan lewat forum internasional seperti Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP) atau G-20.
Pada praktek mewujudkan hasil kesepakatan, ada banyak jalan kebijakan yang berbeda-beda ditempuh dari setiap negara. Terkadang kebijakan yang dikeluarkan, justru memberikan hasil yang berbeda dalam dekarbonisasi dan pengurangan dampak krisis iklim.
Kebanyakan dari negara dunia cenderung meningkatkan penjualan kendaraan listrik, kebijakan amonia dalam pupuk, dan pembelian protein nabati kepada masyarakat umum. Langkah seperti ini, menurut sebuah penelitian, dapat membantu meningkatkan dekarboniasi ekonomi global.
Penelitian itu dipublikasikan dengan tajuk "The Breakthrough Effect: How to Trigger a Cascade of Tipping Points to Accelerate the Net Zero Transition" di laman Policy Commons, 19 Januari 2023.
Para peneliti menilai, dukungan strategis lewat regulasi dan subsidi pada tiga bidang ini punya dampak efek keberlanjutan. Selain itu juga mempercepat transisi dari bahan bakar fosil yang selama ini menghangatkan iklim.
"Kita perlu menemukan dan memicu titik kritis ekonomi yang positif jika kita ingin membatasi risiko merusak titik kritis iklim," terang Tim Lenton, salah satu penulis makalah yang merupakan profesor di University of Exeter, dikutip dari AFP. Dia adalah salah satu ilmuwan pertama yang menghitung bahaya ekonomi yang berdampak pada sistem iklim Bumi.
Suhu iklim dunia yang lebih hangat punya dampak bahaya dalam pencairan es kutub, dan cara adaptasi berbagai spesies di muka bumi. Oleh karena itu, mengontrolnya tetap hangat dengan suhu yang sudah ditentukan--dua derajat Celsius dari masa praindustri--dapat mencegah ancaman itu, sekaligus tetap membuat perekonomian dunia tetap hidup.
Perkara titik kritis perubahan iklim, contohnya bisa dilihat dengan apa yang terjadi pada lembah Amazon. Di masa lalu, kawasan ini adalah hutan tropis yang berangsur-angsur menjadi sabana. Atau cerita lain ada pada Siberia, ketika miliaran ton karbon dari lapisan tanah beku melayang.
Dalam bayangan cermin, titik kritis ekonomi adalah intervensi kecil yang dapat mendorong efek positif yang besar di masyarakat. "Cara berpikir non-linier tentang masalah iklim ini memberikan landasan yang masuk akal untuk harapan," tutur Lenton. "Semakin banyak yang diinvestasikan dalam transformasi sosial ekonomi, semakin cepat terungkap."
Investasi pada bidang dekarbonisasi sangat penting untuk masa depan. Saat ini bidang tersebut menjadi sorotan, tetapi beberapa dekade silam, mungkin kurang menarik. Kendaraan listrik misalnya, satu dekade yang lalu, hampir tidak terdaftar dalam pangsa pasar, dan infrastruktur yang menopangnya tidak dipedulikan.
Namun, perpaduan antara subisi dan waktu penghentian produksi kendaraan bahan bakar fosil makin cepat, berdampak pada revolusi kendaraan listrik. Mekanisme dan pemasarannya menjadi lebih cepat. Sebuah tekanan sosial dan ekonomi yang membuat perubahan ini tidak disangka ketika kendaraan listrik pertama kali diciptakan di tengah gencaran kendaraan bahan bakar fosil.
Kini, Prancis, Spanyol, dan AS bagian California, dan beberapa negara lainnya telah melarang penjualan mobil dan van berbahan bakar fosil. Batas tenggat waktu yang mereka tentukan adalah 2035, dan diikuti Uni Eropa.
"Dengan meningkatkan produksi baterai secara cepat, mendorong peningkatan teknologi dan biaya, kendaraan listrik dapat mendukung transisi ke energi bersih dan dekarbonisasi sektor lain yang membutuhkan energi murah dan bersih," tulis para peneliti.
Selain peralihan energi, beberapa negara juga menggunakan energi terbarukan, seperti penggunaan amonia hijau. Amonia hijau dapat membantu menghasilkan pupuk, dan bisa bermanfaat untuk memulai ekonomi hidrogen yang lebih ramah lingkungan.
Peralihan seperti ini tidak hanya dekarbonisasi, tetapi juga mebuat biaya energi terbarukan dan ramah lingkungan itu menjadi lebih terjangkau, terang laporan terrsebut.
Terakhir, yang menjadi penopang memengaruhi kebijakan dekarbonisasi adalah sumber protein alternatif. Kebijakan seperti ini, jika padukan dengan dua hal sebelumnya, akan menjadi "titik pengaruh super". Protein alternatif dari bahan tumbuhan, bisa membuat jangkauannya lebih murah dibandingkan mendapatkan protein dari daging.
Baca Juga: Satelit NASA Lacak Penyebaran Limpahan Emisi Karbon Dioksida
Baca Juga: Lawan Pemanasan Global, Para Peneliti Kembangkan Teknologi Baru
Baca Juga: Solusi Hijau: Daur Ulang Tinja dan Urin untuk Gizi Pangan dan Obat
Baca Juga: Mengembangkan Teknik Baru Mengisi Baterai Mobil Listrik Hanya 10 Menit
Selam ini, daging dari peternakan menjadi salah satu penyumbang karbon, dengan luas ratusan juta hektar di seluruh dunia. Penyetopan beberapa operasional peternakan bisa mengurangi insentif deforestasi dan menyisakan lebih banyak lahan untuk mendukung keberagaman hayati, serta penyimpanan karbon pohon di dalam tanah, terang Lenton dan tim.
"Sektor-sektor ekonomi beremisi tinggi tidak berdiri sendiri, mereka sangat saling terhubung," kata Simon Sharpe, salah satu penulis laporan dari University College London dan rekan senior di World Resources Institute di Washington, AS.
Para peneliti menjelaskan, agar memanfaatkan protein alternatif, harus menjadikannya regulasi terapan untuk masyarakat luas. Misalnya, dimandatkan penggunaannya di sekolah, rumah sakit, dan kantor pemerintahan, sehingga memicu peralihan yang lebih luas ke arah sumber protein non-daging.
Source | : | afp |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR