Nationalgeographic.co.id—Perubahan iklim telah menyebabkan permukaan air laut global terus meningkat. Kenaikan permukaan air laut ini tentu saja mengancam keberadaan banyak pulau di dunia, bahkan juga status "negara kepulauan" seperti Indonesia.
Tahun lalu, Badan Riset dan Inovasi Nasional memprediksi setidaknya ada 115 pulau di Indonesia yang bakal tenggelam pada tahun 2100 akibat kenaikan muka air laut dan penurunan muka tanah. Dita Liliansa, peneliti di Centre for International Law (CIL), National University of Singapore (NUS), menegaskan Indonesia harus mewaspadai laporan Panel antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) terbaru yang menyatakan bahwa muka air laut global terus meningkat.
"Sebagai negara kepulauan yang terdiri dari 17 ribu pulau dengan 80 ribu kilometer garis pantai, Indonesia harus mewaspadai laporan ini. Pasalnya, kenaikan muka air laut dapat menjadi ancaman bagi keutuhan wilayah Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state)," tulis Dita di The Conversation.
Negara kepulauan adalah konsep hukum internasional hasil upaya diplomasi Indonesia beserta negara kepulauan lainnya selama puluhan tahun. Pada 1982, konsep negara kepulauan tersebut akhirnya diakui dan diadopsi dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa Bangsa (UNCLOS).
Beberapa pulau terluar di tanah air mungkin tidak berpenghuni. Namun, pulau-pulau tersebut memegang nilai strategis yang penting karena menjadi patokan dalam penentuan batas wilayah perairan Indonesia.
Pertanyaannya, ketika sejumlah pulau terluar Indonesia tenggelam, apakah Indonesia masih bisa mempertahankan keutuhan wilayahnya sebagai negara kepulauan?
Dita menjelaskan bahwa selama ini konsep negara kepulauan amat menguntungkan Indonesia. Pasalnya, UNCLOS membolehkan Indonesia mengklaim kedaulatan terhadap seluruh wilayah perairan yang berada di antara belasan ribu pulau-pulaunya. Artinya, dengan kedaulatan tersebut, Indonesia memiliki hak eksklusif terhadap seluruh sumber daya di dalam ataupun di dasar perairan tersebut.
"Sebelum UNCLOS, perairan di antara pulau-pulau Indonesia adalah perairan internasional, di mana warga negara lainnya memiliki kebebasan di laut (freedom of the high seas) untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kawasan tersebut," papar Dita.
Adapun titik awal penentuan batas wilayah suatu negara kepulauan ditandai dengan penentuan garis khusus yang disebut archipelagic baseline (garis pangkal kepulauan). Garis ini dibuat dengan menghubungkan titik-titik terluar yang disebut basepoints. Titik tersebut haruslah berada di pulau ataupun karang (drying reefs) terluar.
Baca Juga: Siapakah Pemenang dan Pecundang Setelah Ujian Perubahan Iklim?
Baca Juga: Bagaimana Perubahan Iklim Bisa Menyebabkan Banjir Parah di Indonesia?
Baca Juga: Lima Kota Dunia yang Bisa Jadi Teladan Adaptasi Perubahan Iklim
Selain itu, basepoints juga bisa berada di elevasi surut (low-tide elevation), yakni suatu wilayah yang terbentuk secara alami yang muncul saat air laut surut, tapi terendam kala pasang.
Karena itulah, suatu negara tak bisa sembarangan menentukan basepoints-nya. Titik tersebut tidak bisa diletakkan di sembarang titik di laut atau di atas fitur yang tenggelam secara permanen. Jarak antartitik juga – dengan pengecualian tertentu – tidak boleh melebihi 100 mil laut (sekitar 185,2 km).
Selain untuk menentukan luas wilayah perairan Indonesia, archipelagic baseline juga menjadi dasar untuk menentukan zona-zona perairan negara kepulauan, misalnya laut teritorial maupun zona ekonomi eksklusif.
Nah, jika muka air laut naik, maka basepoints yang semula berada di atas permukaan air laut bisa tenggelam sebagian ataupun seluruhnya. Situasi tersebut dapat memperpanjang jarak antartitik hingga melampaui batas 100 mil laut yang ditentukan dalam UNCLOS.
Skenario terburuknya, apabila suatu basepoint tenggelam, maka Indonesia perlu mencari titik alternatif, atau membangun kembali titik yang telah tenggelam tersebut agar tetap berada di atas muka air laut.
Dalam kasus ekstrem, kenaikan muka air laut bahkan dapat menghilangkan teritori suatu negara, termasuk menghilangkan baseline dan zona maritim yang diukur darinya.
Ancaman ini tengah dialami Kiribati, sebuah negara kepulauan kecil di Samudra Pasifik. Pasalnya, negara ini berada di kawasan atol atau gugusan karang berketinggian dua meter di atas pemukaan laut.
Indonesia memang tidak menggunakan elevasi surut (low-tide elevation) sebagai basepoints untuk menarik garis pangkal kepulauannya. Namun, Indonesia banyak menggunakan pulau kecil dan karang – yang kemungkinkan besar akan terendam apabila air laut naik. Banyak dari ketinggian basepoints Indonesia sejauh ini belum terpublikasi, karena itu nasibnya belum bisa diprediksi.
UNCLOS juga memuat syarat bahwa negara kepuluan harus memenuhi rasio luas perairan dan daratan (water-to-land ratio) yang telah ditentukan. Jika luas perairan bertambah karena kenaikan muka air laut, rasio tersebut dapat berubah hingga melewati batas yang ditentukan dalam UNCLOS. Hal ini turut mengancam status "kepulauan" Indonesia.
Source | : | The Conversation |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR